Dalam lanskap perpajakan modern, konsep Hubungan Istimewa atau related-party relationship menjadi krusial, terutama bagi Wajib Pajak Badan yang memiliki interaksi bisnis dengan entitas lain. Ketika transaksi dilakukan antara pihak-pihak yang memiliki Hubungan Istimewa dan/atau transaksi yang dilakukan tersebut dipengaruhi oleh pihak yang memiliki Hubungan Istimewa, harga transaksi tersebut harus mencerminkan harga pasar wajar (Arm's Length Principle), yang di Indonesia diatur secara komprehensif, salah satunya melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 172 Tahun 2023 (PMK 172 Tahun 2023).
Definisi dan Tiga Pilar Utama Hubungan Istimewa
Menurut Pasal 2 PMK 172 Tahun 2023, suatu hubungan istimewa merupakan keadaan ketergantungan atau keterikatan antara satu pihak dengan pihak lainnya. Keadaan ini disebabkan oleh tiga pilar utama:
Keadaan Ketergantungan atau Keterikatan
Penting untuk dipahami bahwa ketiga pilar di atas—Kepemilikan, Penguasaan, dan Keluarga—semuanya mengarah pada penentuan adanya keadaan ketergantungan atau keterikatan yang nyata.
Pasal 2 ayat (3) PMK 172 Tahun 2023 menegaskan bahwa keadaan keterikatan ini hadir ketika salah satu atau lebih pihak berada dalam kondisi:
Kondisi ini terjadi ketika satu pihak memiliki kemampuan, baik melalui Penyertaan Modal, posisi manajerial, maupun perjanjian kontraktual, untuk mendikte atau secara signifikan memengaruhi Pengambilan Keputusan Manajerial atau operasional pihak lain. Kontrol ini memastikan bahwa transaksi tidak terjadi secara independen.
Kondisi ini menjelaskan bahwa entitas yang bertransaksi sangat bergantung (terikat) pada pihak lain dan tidak dapat menjalankan usaha atau kegiatannya secara independen dan otonom. Ini menunjukkan adanya ketergantungan penuh atau parsial yang memengaruhi harga jual, volume produksi, atau strategi bisnis.
Memahami poin substansial ini sangat penting, sebab jika suatu transaksi Wajib Pajak tergolong Transaksi Yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa, Wajib Pajak memiliki kewajiban untuk memastikan Harga Transfer yang digunakan telah sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm's Length Principle/ALP).
Pilar pertama dalam mendefinisikan Hubungan Istimewa adalah yang paling mudah diukur: kepemilikan modal atau saham. Kriteria ini berprinsip pada logika sederhana bahwa Penyertaan Modal yang cukup besar secara otomatis menciptakan daya Penguasaan dan Keterikatan finansial. Ketika suatu Wajib Pajak (WP) menanamkan modal di entitas lain dalam jumlah signifikan, ia diasumsikan memiliki pengaruh substansial, yang memenuhi kondisi mengendalikan pihak yang lain atau membuat pihak yang dikuasai tidak berdiri bebas.
Kriteria Utama Berdasarkan Persentase Penyertaan
Sebuah hubungan dianggap istimewa karena kepemilikan jika salah satu kondisi berikut terpenuhi:
Suatu Wajib Pajak (WP A) memiliki Persentase Penyertaan modal secara langsung maupun tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain (WP B).
Contoh:
Misalnya, PT A (sebagai Wajib Pajak) memiliki 30% saham di PT B. Oleh karena kepemilikan PT A di PT B telah melampaui batas minimum 25%, maka secara hukum pajak, PT A dianggap mengendalikan pihak yang lain (yaitu PT B). Oleh karena itu, PT A dan PT B memiliki Hubungan Istimewa berdasarkan Penyertaan Modal langsung
Hubungan Istimewa juga timbul antara dua Wajib Pajak atau lebih yang mana masing-masing dikuasai oleh pihak ketiga yang sama dengan Persentase Penyertaan minimal 25%. Kriteria ini secara efektif mengidentifikasi hubungan di antara perusahaan-perusahaan yang berada dalam satu Grup Usaha (anak perusahaan yang dikendalikan oleh induk yang sama).
Contoh:
Seorang investor, Bapak D, memiliki 30% saham di PT C dan juga 40% saham di PT E. Meskipun PT C dan PT E tidak saling memiliki saham satu sama lain, karena Bapak D telah memenuhi Persentase Penyertaan minimal 25% di kedua perusahaan tersebut, ia dianggap menguasai keduanya. Konsekuensinya, PT C dan PT E dianggap tidak berdiri bebas karena berada di bawah kendali Penguasaan Pihak yang Sama (Bapak D), dan dengan demikian, PT C dan PT E terikat dalam Hubungan Istimewa.
Jika kriteria kepemilikan dirasa terlalu kaku, pilar Penguasaan menyediakan jaring pengaman yang lebih luas, berfokus pada substansi ekonomi dan kendali yang sebenarnya. Pasal 2 ayat (5) PMK 172 Tahun 2023 menegaskan bahwa Hubungan Istimewa dapat timbul karena alasan non-kepemilikan yang secara efektif memastikan satu pihak mengendalikan pihak yang lain atau membuat pihak yang dikuasai tidak berdiri bebas—kondisi krusial yang menciptakan keterikatan operasional.
Pasal 2 ayat (5) PMK 172 Tahun 2023 menjabarkan enam kondisi yang dianggap sebagai Penguasaan dan memicu adanya Hubungan Istimewa:
Kondisi ini terjadi ketika kontrol dilakukan melalui mekanisme selain saham. Misalnya, PT Sejahtera tidak memiliki saham di PT Sentosa, tetapi melalui perjanjian kontrak jangka panjang, PT Sejahtera memiliki hak veto atas keputusan strategis dan menentukan seluruh volume pembelian serta Manajemen Operasional PT Sentosa. Dalam situasi ini, PT Sentosa berada dalam Ketergantungan mutlak dan secara operasional tidak berdiri bebas dari PT Sejahtera.
Hubungan Istimewa dapat terjadi secara horizontal, bahkan jika perusahaan-perusahaan tersebut tidak saling memiliki saham. Ini terjadi ketika dua pihak atau lebih berada di bawah kendali Penguasaan Pihak yang Sama (seorang individu atau entitas induk). Sebagai contoh, PT Murni dan PT Sukses sama-sama dikendalikan 100% oleh PT Induk. Meskipun PT Murni dan PT Sukses secara internal independen, keduanya jelas tidak berdiri bebas dari PT Induk dan menjadi bagian dari satu Grup Usaha.
Kontrol dapat dilakukan melalui sumber daya yang strategis. Satu pihak dianggap menguasai pihak lain jika kontrol dijalankan melalui manajemen atau penggunaan teknologi. Contohnya, PT A menempatkan seluruh jajaran direksi utama di PT B dan secara kontraktual memegang hak veto atas seluruh keputusan keuangan dan operasional kunci. Ini adalah Penguasaan substantif melalui manajemen, yang menjadikan PT B secara operasional tidak berdiri bebas.
Kondisi ini menyangkut peran individu. Hubungan Istimewa terjadi jika terdapat orang yang sama yang terlibat atau berpartisipasi dalam Pengambilan Keputusan Manajerial atau operasional di dua perusahaan atau lebih. Sebagai ilustrasi, Tn. X menjabat sebagai Direktur Utama di PT Inovasi dan juga memegang posisi kunci dalam Manajemen Operasional di PT Kreatif. Keberadaan Tn. X di kedua entitas dapat membuat Pengambilan Keputusan di salah satu perusahaan secara efektif mengendalikan atau memengaruhi keputusan di perusahaan lainnya.
Hubungan Istimewa juga dapat timbul dari pengakuan formal maupun komersial. Jika para pihak secara komersial atau finansial menyatakan diri berada dalam satu Grup Usaha yang sama, ini sudah menjadi dasar penetapan Hubungan Istimewa.
Contoh:
PT Alpha dan PT Beta memiliki struktur kepemilikan yang terpisah. Namun, dalam laporan keuangan konsolidasi global (annual report), PT Alpha secara terbuka mengelompokkan PT Beta sebagai bagian integral dari Grup Usaha mereka, dan PT Beta menggunakan logo dan tagline yang identik. Meskipun secara persentase saham mereka mungkin independen, pernyataan diri dan pengakuan komersial sebagai satu Grup Usaha membuat PT Alpha dan PT Beta dianggap memiliki Hubungan Istimewa karena adanya Keterikatan secara finansial/komersial. Pernyataan diri dan pengakuan komersial ini secara substantif menciptakan Keterikatan yang diakui oleh otoritas pajak.
Kriteria yang paling luas adalah pernyataan eksplisit. Hubungan Istimewa dianggap ada jika satu pihak secara sukarela menyatakan diri memiliki hubungan istimewa dengan pihak lain.
Contoh:
PT XYZ dan PT ABC membuat Perjanjian Bersama (Memorandum of Understanding) yang menyatakan, untuk tujuan internal tertentu (seperti berbagi sumber daya dan informasi rahasia), kedua perusahaan sepakat diperlakukan sebagai entitas yang memiliki Hubungan Istimewa. Pernyataan tertulis ini, meskipun tidak didukung kriteria lain (seperti kepemilikan 25%), sudah cukup untuk memenuhi kriteria Hubungan Istimewa di mata peraturan perpajakan, menunjukkan adanya Keterikatan yang diakui bersama.
Pilar terakhir dalam mendefinisikan Hubungan Istimewa adalah yang paling lugas: ikatan kekerabatan. PMK 172 berasumsi bahwa ikatan keluarga, secara inheren dapat menimbulkan daya Keterikatan dan Penguasaan secara pengaruh, bahkan tanpa adanya surat kepemilikan saham atau kontrol manajerial resmi. Asumsi ini tertuang jelas dalam Pasal 2 ayat (6) PMK 172.
Kriterianya berfokus pada hubungan keluarga, baik sedarah (keturunan darah langsung) maupun semenda (hubungan karena perkawinan), yang berada dalam Garis Keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Hubungan sedarah dihitung berdasarkan keturunan darah langsung. Untuk dikategorikan sebagai Hubungan Istimewa, hubungan tersebut tidak boleh lebih dari satu derajat:
Contoh Kasus:
Tn. P adalah seorang Wajib Pajak orang pribadi. Saudara kandungnya memiliki dan mengendalikan penuh (100% saham) sebuah perusahaan, PT Q. Karena hubungan antara Tn. P dan pemilik PT Q adalah saudara kandung (sedarah ke samping satu derajat), secara otomatis Hubungan Istimewa terbentuk antara Tn. P dan PT Q.
Hubungan semenda terjadi karena adanya pernikahan. Sama seperti hubungan sedarah, batasan satu derajat juga berlaku di sini:
Contoh:
Ny. S, seorang Wajib Pajak orang pribadi. Suami Ny. S memiliki seorang saudara kandung, yang merupakan pemilik tunggal dari PT T. Dalam hukum pajak, hubungan Ny. S dengan saudara suaminya adalah semenda ke samping satu derajat (Ipar). Dengan demikian, Ny. S dan PT T secara resmi memiliki Hubungan Istimewa.
Penting untuk dicatat bahwa batasan Hubungan Istimewa Karena Hubungan Keluarga ini ketat. Misalnya, hubungan paman atau bibi (sedarah ke samping derajat kedua) dengan keponakan tidak diklasifikasikan sebagai Hubungan Istimewa berdasarkan kriteria kekerabatan ini.
Ringkasan dan Implikasi bagi Wajib Pajak
PMK 172 Tahun 2023 memperjelas dan memperkuat tiga pilar penentuan Hubungan Istimewa, khususnya dalam aspek Penguasaan yang kini lebih menekankan pada substansi ekonomi dan kendali operasional (mengendalikan pihak yang lain atau kondisi tidak berdiri bebas).
Bagi Wajib Pajak yang melakukan Transaksi Yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa pengenalan terhadap kriteria di Pasal 2 PMK 172 adalah langkah pertama yang krusial. Jika salah satu atau lebih kriteria terpenuhi, Wajib Pajak memiliki kewajiban untuk:
Dengan memahami ruang lingkup Hubungan Istimewa ini, Wajib Pajak dapat secara proaktif mengidentifikasi risiko perpajakan dan memastikan pemenuhan kewajiban perpajakan mereka telah seimbang dan akurat.