Perhatian publik saat ini sedang tertuju pada langkah-langkah strategis otoritas fiskal—khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Bea Cukai—dalam menjaga stabilitas penerimaan negara di tengah meningkatnya ketidakpastian ekonomi global. Isu-isu utama yang mencuat meliputi penindakan terhadap peredaran barang ilegal, kekhawatiran atas perlambatan penerimaan akibat kebijakan insentif, serta penguatan pengawasan terhadap Wajib Pajak yang tidak patuh. Analisis berikut mengulas dinamika kebijakan fiskal tersebut dan bagaimana pemerintah berupaya menyeimbangkan antara kepatuhan pajak, pertumbuhan ekonomi, dan perlindungan penerimaan negara.
Pemerintah Indonesia sedang memperkuat pengawasan fiskal dan kepatuhan Wajib Pajak (WP) di tengah kekhawatiran penerimaan negara. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) melaporkan bahwa penindakan terhadap barang ilegal telah mencapai nilai fantastis sebesar Rp6,8 triliun hingga September 2025, bertujuan melindungi industri domestik, mengamankan hak-hak keuangan negara, serta memberantas perdagangan gelap. Namun, di sisi pajak, pemberian insentif fiskal yang masif dikhawatirkan akan mengguyur kas penerimaan pajak dan berpotensi menyebabkan seretnya pencapaian target hingga akhir tahun. Untuk memitigasi risiko tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan melakukan pemeriksaan intensif terhadap Wajib Pajak (WP) yang tidak jujur dalam melaporkan SPT maupun mengakali insentif pajak, bertujuan memastikan kepatuhan dan mencegah penyalahgunaan fasilitas fiskal.
Di lingkup makroekonomi, kebijakan stimulus menjadi sorotan utama dalam menghadapi ketidakpastian. Para ekonom menilai bahwa tingkat ketidakpastian ekonomi Indonesia berada pada level tertinggi di Kuartal II 2025, disebabkan oleh volatilitas harga komoditas global dan situasi geopolitik yang memengaruhi prospek investasi. Oleh karena itu, pemberlakuan kembali diskon listrik 50% akan memberikan dorongan positif bagi daya beli masyarakat dan mengurangi beban biaya produksi bagi industri, di mana ekonom menilai bahwa stimulus ini dapat menjadi instrumen efektif untuk meningkatkan konsumsi dan menjaga momentum pemulihan ekonomi di tengah tingginya ketidakpastian global.
Kepala DJBC berhasil menindak barang ilegal senilai Rp6,8 triliun, menunjukkan komitmen pemerintah dalam menciptakan persaingan usaha yang sehat dan melindungi penerimaan cukai. Namun, kekhawatiran seretnya penerimaan pajak akibat insentif merupakan risiko yang harus dimitigasi; DJP merespons dengan mengancam pemeriksaan WP tak jujur, yang berarti lingkungan kepatuhan pajak akan semakin ketat bagi pelaku usaha. Di sisi makro, ketidakpastian ekonomi yang tinggi di kuartal II 2025 menuntut kebijakan moneter dan fiskal yang adaptif, termasuk pertimbangan stimulus seperti diskon listrik 50% yang terbukti mampu menjaga daya beli masyarakat dan menekan biaya industri.
Dinamika awal Oktober 2025 menggambarkan upaya "tarik-ulur" pemerintah dalam mengelola keuangan negara: di satu sisi memberikan insentif untuk menopang daya beli dan investasi, namun di sisi lain harus berjuang keras mengamankan penerimaan dan melawan praktik ilegal. Pelaku bisnis harus menyadari bahwa otoritas pajak dan bea cukai kini meningkatkan pengawasan secara signifikan. Kepatuhan yang jujur terhadap SPT dan penggunaan insentif, di tengah tingginya ketidakpastian ekonomi global, akan menjadi faktor penentu utama keberlanjutan dan kesuksesan operasional perusahaan.