Prinsip Nilai Penggantian sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kembali diuji dalam sengketa koreksi PPN Keluaran yang melibatkan TTSM terkait transaksi Tandan Buah Segar (TBS) dari mitra Plasma. Kasus ini menyoroti diskrepansi krusial antara kewajiban perpajakan formal yang diatur Undang-Undang PPN dengan kompleksitas mekanisme bagi hasil dalam skema kemitraan sektor perkebunan. Dalam putusan ini, Majelis Hakim dituntut untuk mengurai lapisan-lapisan transaksi yang unik, yang pada akhirnya membawa implikasi signifikan terhadap praktik penentuan DPP PPN bagi perusahaan perkebunan.
PT TTSM, selaku Pemohon Banding, menentang koreksi DPP PPN sebesar Rp. 1.180.035.158,00 yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Inti dari konflik ini adalah perbedaan cara pandang mengenai apa yang seharusnya menjadi Dasar Pengenaan Pajak. DJP, melalui hasil pemeriksaan, berpendapat bahwa seluruh nilai penjualan TBS dari Plasma kepada PT TTSM harus diakui sebagai DPP PPN, terlepas dari bagaimana mekanisme internal bagi hasil atau pemotongan utang dalam skema kemitraan tersebut dijalankan. Koreksi ini didasarkan pada hasil uji arus dan rekonsiliasi yang menunjukkan adanya selisih omzet yang belum dipungut PPN Keluaran. Di sisi lain, PT TTSM berargumen bahwa kewajiban hukum untuk menjalankan kemitraan Plasma membuat transaksi ini tidak bisa diperlakukan sebagai penyerahan BKP biasa. Mereka berdalil, nilai yang dikoreksi seharusnya dikeluarkan dari DPP PPN karena merupakan bagian dari pengaturan bagi hasil atau penutupan kewajiban Plasma, sehingga tidak memenuhi definisi Nilai Penggantian Penuh bagi perusahaan.
Menghadapi pertentangan interpretasi antara hukum sektoral perkebunan dan hukum PPN, Majelis Hakim mengambil sikap yang berpegang teguh pada prinsip burden of proof dan formalitas PPN. Majelis menyatakan bahwa, meskipun dalil mengenai keunikan skema kemitraan Plasma dapat dipahami, hal tersebut tidak dapat secara otomatis mengesampingkan ketentuan PPN yang berlaku. Sesuai Undang-Undang Pengadilan Pajak, Pemohon Banding memiliki kewajiban untuk membuktikan bahwa Dasar Pengenaan Pajak yang dikoreksi DJP adalah keliru. Bukti harus secara meyakinkan menunjukkan bahwa nilai Rp1.180.035.158 tersebut tidak memenuhi unsur Nilai Penggantian PPN. Karena PT TTSM dinilai gagal menyediakan bukti pendukung yang memadai, terutama dokumentasi yang secara jelas memisahkan unsur DPP PPN dari komponen transaksi lainnya dalam skema kemitraan, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa koreksi yang dilakukan DJP adalah sah dan beralasan hukum.
Putusan yang menolak Banding PT TTSM ini memberikan implikasi yang tegas bagi Wajib Pajak di sektor perkebunan. Pelajaran kunci yang dapat dipetik adalah bahwa kompleksitas operasional, bahkan yang diamanatkan oleh regulasi sektoral, tidak akan secara otomatis memberikan perlindungan dari koreksi pajak jika dokumentasi yang melandasinya lemah. Praktik terbaik menuntut Wajib Pajak untuk mengimplementasikan sistem pencatatan yang detail, termasuk jurnal akuntansi dan penerbitan faktur pajak, yang secara eksplisit memisahkan Nilai Penggantian PPN dari nilai transaksi bruto dalam skema kemitraan Plasma. Konsistensi antara laporan PPN dan PPh Badan juga menjadi fokus pengujian. Putusan ini menjadi peringatan keras bagi PKP untuk memastikan kepatuhan formal PPN selaras dengan substansi transaksional yang unik.
Kesimpulannya, sengketa PPN ini berakar pada perbedaan interpretasi Nilai Penggantian dalam konteks kemitraan Plasma. Kemenangan DJP di Pengadilan Pajak bukanlah penolakan terhadap skema kemitraan itu sendiri, melainkan penolakan terhadap kegagalan PT TTSM dalam membuktikan perlakuan DPP PPN yang berbeda dari nilai penggantian penuh. Wajib Pajak harus menjadikan dokumentasi dan rekonsiliasi sebagai benteng pertahanan utama dalam menghadapi sengketa sejenis.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini.