Penerapan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) secara konsisten menjadi batu ujian utama bagi Wajib Pajak multinasional, khususnya terkait pembebanan biaya royalti atas pemanfaatan Harta Tidak Berwujud (Intangible Assets) dari pihak yang memiliki hubungan istimewa. Sengketa antara PT DTI dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam kasus ini, menyoroti kompleksitas pembuktian benefit test dan arm's length rate dalam transaksi lisensi rahasia dagang. Kasus ini menyoroti bagaimana koreksi positif Penghasilan Kena Pajak (PKP) bermula dari ketidaksepakatan DJP terhadap biaya royalti yang dibayarkan oleh PT DTI kepada entitas afiliasi di luar negeri, yang dinilai tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU).
Inti konflik dalam sengketa ini berpusat pada dua isu: substansi dan kuantifikasi. DJP bersikukuh bahwa PT DTI gagal membuktikan adanya manfaat ekonomi yang nyata dari Rahasia Dagang yang dilisensikan, sehingga menganggap biaya tersebut sebagai non-deductible dan merupakan indikasi pengalihan laba. DJP menggunakan kewenangan Pasal 18 ayat (3) UU PPh untuk menolak seluruh pembebanan biaya. Sebaliknya, PT DETPAK INDONESIA memprotes keras koreksi ini, menegaskan bahwa know-how yang mereka peroleh adalah elemen krusial yang menopang kualitas dan efisiensi produk, dan oleh karena itu, biaya royalti tersebut adalah biaya yang sah untuk Mendapatkan, Menagih, dan Memelihara (3M) penghasilan. PT DTI menyertakan perjanjian lisensi, laporan teknis, dan Transfer Pricing Documentation (TP Doc) untuk membuktikan kepatuhan terhadap PKKU.
Dalam penyelesaian sengketa, Majelis Hakim mengambil sikap yang seimbang dan pragmatis. Pertimbangan hukum Majelis dimulai dengan pengujian substansi, di mana ditemukan bahwa bukti yang diajukan PT DTI cukup kuat untuk membuktikan adanya pemanfaatan dan manfaat ekonomis yang riil dari lisensi rahasia dagang. Hal ini menggugurkan argumen DJP yang menolak biaya royalti secara total. Akan tetapi, Majelis tidak berhenti pada substansi; mereka melanjutkan pada pengujian kuantifikasi. Melalui analisis independen atas besaran tarif, Majelis berpendapat bahwa tarif royalti yang dibayarkan PT DTI melebihi batas kewajaran yang seharusnya dibayar oleh pihak independen (arm's length rate).
Keputusan Majelis Hakim untuk mengabulkan sebagian permohonan banding memberikan implikasi ganda. Putusan ini menjadi preseden positif yang menegaskan bahwa intangible assets yang memiliki fungsi riil dan memberikan manfaat spesifik dapat dibiayakan. Namun, pada saat yang sama, putusan ini memberikan pelajaran penting bagi Wajib Pajak untuk tidak hanya fokus pada benefit test tetapi juga melakukan benchmarking tarif yang ketat dan defensif. Implikasi bagi praktik perpajakan adalah penekanan yang semakin besar pada kualitas bukti Transfer Pricing Documentation, khususnya dalam menyajikan data pembanding yang relevan dan terperinci untuk memvalidasi besaran tarif royalti yang dibayar. Kasus ini menunjukkan bahwa risiko sengketa dapat diminimalkan melalui pendekatan proaktif, seperti mengajukan Advance Pricing Agreement (APA), untuk menyepakati tarif royalti di awal.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini.