Perkara sengketa perpajakan atas koreksi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) senilai Rp. 6.071.208.708,00 yang melibatkan PT SAR dan Direktur Jenderal Pajak (DJP) menyoroti kompleksitas penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU) pada transaksi komoditas yang melibatkan pihak-pihak dengan hubungan istimewa. Inti konflik berkisar pada penentuan harga wajar (Arm's Length Price) Crude Palm Oil (CPO) dan pemilihan data pembanding, di mana DJP menggunakan Harga SPOT Medan Bappebti dan PT SAR menggunakan data tender PT KPBN yang disesuaikan, sebagaimana diwajibkan oleh ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang PPN.
Konflik bermula dari penetapan kembali harga jual CPO oleh DJP yang didasarkan pada asumsi bahwa harga yang digunakan PT SAR kepada afiliasinya (PT IBP) lebih rendah dari harga pasar wajar, mengingat adanya hubungan istimewa (penguasaan yang sama). DJP menolak data KPBN yang diajukan PT SAR dengan alasan data tersebut tidak transparan dan sulit diakses bebas oleh publik, sehingga tidak memenuhi kriteria sebagai pembanding independen yang kredibel. Oleh karenanya, DJP beralih menggunakan data Harga SPOT Medan Bappebti, yang dianggap lebih andal dan dapat diakses publik, dan berdasarkan selisih harga ini, koreksi DPP PPN pun diterbitkan.
Di sisi lain, PT SAR membantah koreksi tersebut dengan argumentasi fundamental bahwa KPBN adalah bursa komoditas CPO yang diakui secara luas, dan harga tender KPBN adalah cerminan praktik pasar yang paling akurat (custom of trade) yang digunakan para pelaku industri CPO di Indonesia. PT SAR berargumen, harga KPBN yang telah disesuaikan dengan biaya transportasi (Franco Pabrik Penjual) jauh lebih relevan dengan kondisi transaksional PT SAR daripada Harga SPOT Bappebti yang digunakan DJP. Selain itu, PT SAR juga mempertanyakan landasan hukum koreksi transfer pricing domestik PPN yang tidak memenuhi kriteria pemanfaatan perbedaan tarif pajak sebagaimana diatur dalam PER-32/PJ/2011.
Dalam resolusi sengketa ini, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memberikan pertimbangan yang sangat penting. Majelis menilai bahwa penolakan DJP terhadap data KPBN tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Majelis menegaskan bahwa DJP seharusnya mengakui bahwa harga KPBN adalah lazim dan rutin digunakan dalam industri CPO. Poin krusial yang digarisbawahi Majelis adalah: jika DJP meragukan transparansi data KPBN, DJP harus menggunakan kewenangan Pasal 35 Undang-Undang KUP untuk secara resmi meminta data dan memverifikasinya kepada pihak ketiga (KPBN), bukan hanya menolak data tersebut secara sepihak dan menggantinya dengan data lain yang kurang relevan. Karena DJP gagal membuktikan bahwa harga PT SAR menyimpang dari PKKU dan mengingat koreksi PPh Badan yang menjadi pangkal koreksi ini telah dibatalkan, maka koreksi DPP PPN sebesar Rp. 6.071.208.708,00 dinyatakan dibatalkan.
Putusan ini memiliki dampak signifikan bagi praktik perpajakan, khususnya bagi PT SAR yang bergerak dalam perdagangan komoditas dengan afiliasi. Ini menjadi preseden bahwa kepatuhan terhadap praktik pasar yang lazim dan didukung dokumentasi bursa yang terperinci memiliki bobot pembuktian yang superior. Implikasinya, DJP harus lebih proaktif dalam menggunakan kewenangan verifikasi kepada pihak ketiga dan tidak dapat serta merta mengganti data pembanding yang relevan dengan data publik yang diragukan relevansi transaksionalnya. Putusan ini menjadi pengingat tegas akan pentingnya korelasi dan konsistensi dalam penentuan harga wajar untuk tujuan PPh maupun PPN.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini