Sektor jasa keuangan, khususnya perusahaan multifinance seperti PT TF, berhadapan dengan aturan perpajakan yang sangat spesifik, terutama terkait pembebanan kerugian. Sengketa PPh Badan Tahun Pajak 2018 ini menjadi studi kasus krusial tentang bagaimana Pengadilan Pajak menafsirkan dan menerapkan persyaratan formal Piutang Tak Tertagih (Bad Debt), dan bagaimana Majelis Hakim dapat menggunakan pengecualian hukum untuk membatalkan koreksi DJP.
Dalam industri pembiayaan, Piutang Tak Tertagih merupakan pos biaya utama. Pengakuan kerugiannya diatur ketat oleh Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh, yang mensyaratkan antara lain telah dipublikasikannya daftar piutang dan penyerahan daftar piutang kepada instansi berwenang, atau piutang tersebut berasal dari debitur kecil (yang batasannya diatur PMK). DJP dalam koreksinya menyerang pembebanan oleh PT TF, mendalilkan Wajib Pajak gagal memenuhi prosedur legal formal karena bukti-bukti yang disyaratkan tidak tersedia saat pemeriksaan dan belum dilampirkan saat penyampaian SPT.
PT TF membantah dengan fokus pembuktian bahwa secara substansi dan formal, daftar piutang tersebut telah memenuhi persyaratan yang diwajibkan. PT TF berhasil menyajikan bukti bahwa secara formal, mereka telah melakukan langkah-langkah yang diwajibkan (seperti publikasi di media massa dan penyerahan daftar piutang) meskipun bukti tersebut baru disajikan secara komprehensif di tingkat sengketa. PT TF berargumen, kepatuhan Wajib Pajak tidak seharusnya digugurkan hanya karena kekurangan formalitas administratif pelaporan, sepanjang dokumen pendukung yang sah dapat disajikan di tingkat Banding.
Putusan Pengadilan Pajak dalam kasus PT TF ini menjadi pelajaran penting mengenai kekuatan bukti yang disusulkan dan penafsiran Majelis dalam memahami PMK. Majelis Hakim memutuskan untuk membatalkan koreksi Piutang Tak Tertagih DJP, karena selain PT TF berhasil menyajikan bukti-bukti otentik di hadapan Majelis, daftar piutang yang dihapus tersebut termasuk dalam piutang debitur kecil sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 130 Tahun 2000, sehingga tidak diwajibkan untuk memenuhi seluruh persyaratan administrasi.
Bagi Wajib Pajak di sektor keuangan, putusan ini memberikan dua penegasan hukum penting. Pertama, Majelis bersedia menerima bukti-bukti pemenuhan persyaratan formal (publikasi, penyerahan daftar piutang) yang disajikan di tingkat sengketa, asalkan bukti tersebut sah. Kedua, klasifikasi piutang debitur kecil adalah penentu kemenangan. Meskipun Wajib Pajak tidak menjadikannya argumen utama, Majelis dapat menggunakan pengecualian hukum ini untuk membatalkan koreksi DJP, menegaskan bahwa pengecualian yang diatur PMK untuk debitur kecil adalah pertahanan yang sangat kuat terhadap prosedur formal yang ketat.
Analisa komprehensif dan putusan lengkap atas sengketa ini tersedia di sini