DJP Perkuat Sinergi dengan PPATK-BPKP, Pemanfaatan Data Intelijen Keuangan Hasilkan Penerimaan Rp18,47 Triliun
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan melaporkan keberhasilan pemanfaatan data intelijen keuangan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang berkontribusi pada penambahan penerimaan negara sebesar Rp18,47 triliun selama periode 2020—2025. Keberhasilan ini mendorong penguatan sinergi formal melalui penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara DJP, PPATK, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada Kamis (9/10/2025).
Menurut Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, PKS ini menjadi landasan pembentukan satuan tugas (Satgas) gabungan yang bertujuan mengoptimalkan koordinasi antarlembaga. Ruang lingkup kerja sama mencakup pertukaran data dan informasi, asistensi penanganan perkara, serta penanganan isu strategis di bidang penegakan hukum. Pemanfaatan Laporan Hasil Analisis (LHA) dari PPATK secara aktif telah terbukti efektif dalam memperkuat proses pengawasan dan pemeriksaan oleh DJP.
“Dengan terjalinnya kerja sama ini, diharapkan koordinasi antar instansi dapat berjalan semakin efektif sehingga upaya peningkatan penerimaan negara dan perlindungan sumber daya alam dapat terlaksana secara optimal dan berintegritas,” tegas Bimo. Selain optimalisasi penerimaan pajak, Satgas gabungan juga akan difokuskan untuk mendukung strategi nasional dalam pengelolaan kawasan hutan yang berkelanjutan, sejalan dengan komitmen pemerintah mencegah kebocoran penerimaan negara dari sektor sumber daya alam.
Pemerintah Peringatkan Praktik Penghindaran Pajak Atas Fasilitas PPh Final UMKM 0,5%
Pemerintah secara tegas memperingatkan pelaku usaha agar tidak menyalahgunakan fasilitas perpanjangan Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,5% bagi UMKM. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyoroti adanya modus penghindaran pajak yang telah teridentifikasi, seperti praktik "arisan faktur" dan sengaja memecah usaha (split-off) agar omzet tetap berada di bawah ambang batas Rp4,8 miliar per tahun.
"Jangan buka toko [lagi], yang omzetnya sudah Rp5 miliar diturunin ke toko tetangga, tukar-menukar faktur. Nah kita sudah agak paham, bagaimana di pasar itu berlaku arisan faktur. Nah ini juga harus kita jaga," ujar Airlangga. Peringatan ini sejalan dengan pandangan para ekonom yang menilai kebijakan ini berpotensi menimbulkan moral hazard dan mendorong praktik penghindaran pajak oleh wajib pajak yang tidak bertanggung jawab.
Menyikapi celah tersebut, para analis kebijakan mendorong pemerintah untuk segera memperkuat kerangka regulasi anti-penghindaran pajak. Usulan yang mengemuka adalah penerbitan aturan turunan untuk mengimplementasikan ketentuan General Anti-Tax Avoidance Rules (GAAR) yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang No.7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Selain itu, optimalisasi pengawasan melalui sistem inti administrasi perpajakan (Coretax) dianggap krusial untuk mengidentifikasi wajib pajak yang sudah tidak layak lagi menerima fasilitas PPh Final 0,5%.
Pemerintah Implementasikan Skema Verifikasi Kolaboratif untuk Data Beneficial Owner
Pemerintah secara resmi mengubah skema pelaporan Beneficial Owner (BO) atau pemilik manfaat korporasi dari mekanisme self-declaration menjadi model verifikasi kolaboratif yang terintegrasi antarlembaga. Kebijakan ini diatur melalui Peraturan Menteri Hukum Nomor 2 Tahun 2025 dan bertujuan untuk meningkatkan transparansi kepemilikan korporasi, serta menekan praktik penghindaran pajak dan pencucian uang yang memanfaatkan struktur legal yang kompleks.
Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, menyatakan bahwa pergeseran paradigma ini diperlukan karena skema self-declaration dinilai tidak efektif, dengan tingkat kepatuhan pelaporan yang masih berada di angka 46,9%. Menurutnya, transparansi BO merupakan instrumen esensial untuk mengatasi masalah informasi asimetris dan menjaga stabilitas sistem keuangan. “Kita akan beralih dari paradigma self-declaration menuju verifikasi kolaboratif yang terintegrasi,” tegas Supratman.
Sinergi antarlembaga dalam kerangka ini telah menunjukkan hasil konkret. Pemanfaatan data legal owner dan BO dari Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah berkontribusi pada pengamanan penerimaan negara sebesar Rp896,6 miliar selama periode 2020 hingga September 2025. Kolaborasi ini kini diperkuat melalui Perjanjian Kerja Sama (PKS) baru untuk memastikan verifikasi data yang akurat dan meningkatkan kepatuhan perpajakan.