Perekonomian global tengah menghadapi meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan, sehingga menuntut kewaspadaan serta koordinasi kebijakan dari otoritas domestik. Bank Indonesia (BI) terus menjaga stabilitas moneter dan memperkuat sistem pembayaran, sementara realisasi belanja pemerintah masih melambat dan rencana redenominasi Rupiah tetap menjadi agenda jangka panjang.
Bank Indonesia (BI) mengambil kebijakan yang fokus pada stabilitas moneter dan efisiensi sistem pembayaran sebagai respons terhadap meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global. Kondisi tersebut, yang dipicu oleh perlambatan ekonomi Amerika Serikat dan spekulasi penahanan penurunan suku bunga The Fed, mendorong aliran modal global menuju aset aman (safe haven), yang berpotensi membatasi arus investasi ke pasar emerging seperti Indonesia. Menghadapi risiko ini, BI memutuskan mempertahankan BI-Rate pada level 4,75% dalam Rapat Dewan Gubernur November 2025. Keputusan ini diambil BI untuk secara efektif menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dan memitigasi risiko terhadap inflasi.
Selain menjaga stabilitas, BI juga terus memperkuat struktur industri sistem pembayaran nasional dengan perluasan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). Bank Indonesia menargetkan perluasan penggunaan QRIS untuk transaksi lintas negara ke China dan Korea Selatan mulai 2026. Langkah strategis ini akan mempercepat akseptasi pembayaran digital dan memberikan kemudahan bagi turis serta pelaku usaha. Dalam visi jangka panjang, Gubernur BI, Perry Warjiyo, juga menjelaskan bahwa proses redenominasi Rupiah dari Rp1.000 menjadi Rp1 memerlukan waktu panjang sekitar 5 hingga 6 tahun, yang diawali dengan penerbitan Undang-Undang Redenominasi dan penyusunan aturan transparansi harga demi menjaga nilai daya beli masyarakat.
Sementara itu, dari sisi fiskal, ekonom menyoroti realisasi belanja pemerintah pusat pada sejumlah Kementerian/Lembaga dengan anggaran besar yang terlihat seret pada pertengahan kuartal IV 2025. Para ekonom menyarankan agar pemerintah melakukan persiapan proyek dan kegiatan sejak awal tahun anggaran. Hal ini penting dilakukan untuk menghindari rushed spending (belanja tergesa-gesa) yang dapat menurunkan kualitas output program pemerintah.
Dinamika kebijakan ini memiliki implikasi signifikan bagi pelaku bisnis dan investor. Keputusan BI menahan suku bunga acuan 4,75% mencerminkan fokus stabilitas moneter dan upaya mitigasi dampak gejolak global, yang memberikan kepastian bagi investor jangka pendek. Namun, kondisi ini juga berarti biaya dana di perbankan belum turun signifikan, sehingga pelaku bisnis menghadapi biaya pinjaman yang relatif stabil. Rencana redenominasi yang membutuhkan waktu 6 tahun menekankan pentingnya edukasi dan transparansi dari otoritas, memastikan pelaku usaha memiliki waktu adaptasi yang memadai terhadap perubahan nominal tanpa mengubah nilai riil. Selain itu, lambatnya serapan belanja K/L berpotensi menahan laju pertumbuhan ekonomi dari sisi fiskal, membutuhkan percepatan eksekusi program-program pemerintah untuk mendorong aktivitas sektor riil. Perluasan QRIS ke Asia Timur memperluas akses pasar digital bagi UMKM dan mempermudah transaksi pariwisata lintas negara, menjadi katalisator bagi pertumbuhan ekonomi digital domestik.
Keseluruhan berita ini menunjukkan otoritas moneter dan fiskal Indonesia secara proaktif mengambil langkah-langkah strategis dalam menghadapi tantangan global dan domestik. Kebijakan moneter yang fokus pada stabilitas Rupiah menjadi penopang utama ketahanan ekonomi, sementara upaya digitalisasi pembayaran dan implementasi reformasi struktural seperti redenominasi menunjukkan visi jangka panjang untuk efisiensi dan modernisasi. Masyarakat dan pelaku ekonomi perlu terus mencermati perkembangan ini agar dapat menyesuaikan strategi investasi dan operasional bisnis dengan dinamika pasar dan regulasi yang berlaku.