Kondisi likuiditas perekonomian Indonesia menunjukkan tanda perlambatan, mencerminkan tekanan baik dari faktor domestik maupun eksternal. Pertumbuhan uang beredar yang menurun, disertai capital outflow dan kenaikan inflasi, menimbulkan tantangan bagi stabilitas bisnis dan keamanan perusahaan. Di tengah tekanan tersebut, pemerintah berupaya menjaga daya beli melalui penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT). Pembahasan difokuskan pada faktor yang memengaruhi perlambatan uang beredar, risiko terhadap keamanan bisnis, serta langkah pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi menjelang akhir tahun.
Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa likuiditas perekonomian atau uang beredar dalam arti luas (M2) tumbuh melambat pada Oktober 2025, tercatat sebesar Rp9.783,1 triliun atau tumbuh 7,7% secara tahunan (YoY). Perlambatan pertumbuhan uang beredar ini sebagian besar disebabkan oleh arus keluar modal (capital outflow) yang signifikan dari pasar keuangan domestik. Arus modal keluar ini dipicu oleh ketidakpastian global, terutama kebijakan suku bunga The Fed, yang membuat investor global menarik dana dari pasar emerging seperti Indonesia, serta penurunan pertumbuhan aktiva luar negeri bersih dan penyaluran kredit perbankan yang melambat.
Sementara itu, dampak inflasi jangka panjang menyoroti penurunan nilai riil uang yang drastis, terbukti dari analisis ekonom yang menunjukkan bahwa nilai daya beli uang Rp5 juta pada tahun 2000 secara substansial lebih besar dibandingkan uang Rp10 juta pada 2025. Penurunan nilai riil ini menuntut strategi investasi yang cerdas. Dampak dari ketidakstabilan ekonomi juga muncul sebagai ancaman keamanan paling mendesak bagi perusahaan dan eksekutif di Indonesia. Berdasarkan riset global, sebanyak 71% Chief Security Officer (CSO) di Indonesia menilai gejolak ekonomi berpotensi mengganggu stabilitas operasional dan keselamatan pimpinan perusahaan.
Menghadapi tantangan likuiditas dan inflasi tersebut, pejabat fiskal seperti Menteri Keuangan Purbaya yakin bahwa daya beli masyarakat akan pulih dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Keyakinan ini didasarkan pada percepatan penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) Sejahtera yang diharapkan segera diserap habis oleh Keluarga Penerima Manfaat (KPM), yang berfungsi sebagai stimulus fiskal untuk menjaga konsumsi.
Dinamika ini memiliki implikasi luas, mulai dari stabilitas moneter hingga keamanan korporasi. Perlambatan pertumbuhan uang beredar akibat capital outflow mengindikasikan pengetatan likuiditas di pasar yang dapat menahan laju penyaluran kredit perbankan. Bagi perusahaan, ketidakstabilan ekonomi yang diidentifikasi sebagai ancaman keamanan utama menuntut penguatan manajemen risiko dan perlindungan eksekutif yang lebih ketat, serta pentingnya kolaborasi dengan pemerintah untuk menjaga stabilitas sosial. Sementara itu, penurunan daya beli riil (seperti yang ditunjukkan perbandingan nilai uang tahun 2000 vs 2025) menekankan urgensi kebijakan stimulus fiskal seperti BLT untuk menopang konsumsi dan menciptakan multiplier effect ekonomi di akhir tahun.
Keseluruhan berita pada hari ini menunjukkan otoritas moneter dan fiskal Indonesia sedang berjuang melawan tekanan likuiditas yang dipicu oleh faktor eksternal (capital outflow) dan dampak inflasi jangka panjang. BI dan OJK harus memantau ketat kondisi uang beredar untuk memastikan likuiditas pasar tetap terjaga. Sementara itu, pemerintah mengandalkan penyaluran BLT sebagai strategi jangka pendek untuk menjaga daya beli dan menghindari perlambatan ekonomi. Pelaku bisnis dan investor harus waspada terhadap risiko keamanan yang meningkat akibat gejolak ekonomi, dan memprioritaskan investasi pada aset yang menghasilkan return di atas laju inflasi untuk menjaga nilai kekayaan riil mereka.