Penerapan regulasi Pajak Penghasilan (PPh) Final Pasal 4 ayat (2) yang mewajibkan pemotongan pada saat pembayaran atau tanggal terutang seringkali menjadi sumber sengketa timing antara PT AAC dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Kasus PT AAC ini menyoroti kompleksitas tersebut, di mana koreksi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh Final sebesar Rp. 1.409.054.800,00 untuk Masa Pajak Oktober 2020 berhasil dibatalkan. Putusan ini menggarisbawahi pentingnya prinsip kebenaran materiil dalam persidangan pajak, meskipun PT AAC terlambat memenuhi kewajiban pemotongan. DJP berargumen bahwa transaksi yang bersumber dari faktur PT TIG merupakan penghasilan terutang PPh Final pada Oktober 2020, namun PT AAC belum melakukan pemotongan dan pelaporan pada masa tersebut, sehingga DJP menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB).
Inti konflik dalam sengketa ini terletak pada perbedaan waktu (timing) pengakuan dan pemenuhan kewajiban pemotongan pajak. DJP bersikukuh pada temuan pemeriksaan yang menunjukkan nihilnya pemotongan di Masa Pajak Oktober 2020. Sebaliknya, PT AAC menyajikan bantahan yang kokoh dengan bukti otentik. PT AAC berhasil membuktikan bahwa PPh Final atas transaksi tersebut, meskipun berasal dari faktur Oktober 2020, telah dipotong, disetor, dan dilaporkan secara sah pada Masa Pajak Februari 2021. Bukti potong Nomor 000005/PPH4(2)/II/2021 tanggal 28 Februari 2021 menjadi kunci utama argumentasi, membuktikan bahwa pajak telah masuk ke kas negara, hanya saja di masa pajak yang berbeda.
Dalam resolusi sengketa, Majelis Hakim Pengadilan Pajak secara cermat menilai bukti yang diajukan. Majelis menerima bukti potong yang sah tersebut dan berpendapat bahwa tujuan utama administrasi pajak, yaitu penerimaan negara, telah terpenuhi. Berpegangan pada prinsip kebenaran materiil dan untuk menghindari pemajakan berganda, Majelis Hakim berkeyakinan bahwa koreksi yang dilakukan oleh DJP pada Masa Pajak Oktober 2020 harus dibatalkan. Pembatalan ini dilakukan karena penetapan utang pajak baru akan menimbulkan ketidakadilan bagi PT AAC yang telah memenuhi kewajibannya di masa pajak berikutnya.
Analisis putusan ini memberikan implikasi yang signifikan. Bagi Wajib Pajak, kasus PT AAC menjadi preseden bahwa ketelitian administrasi dan kecepatan cut-off sangat penting. Namun, jika terjadi kesalahan timing, dokumentasi yang kuat (bukti potong, SSP, dan laporan SPT Masa) yang menunjukkan realisasi penyetoran pajak menjadi benteng pertahanan utama dalam proses litigasi. Putusan ini memperkuat peran Pengadilan Pajak sebagai penjaga keadilan yang mengedepankan substansi (pajak sudah disetor) di atas formalitas (keterlambatan masa pajak), sepanjang pajak tersebut telah dibayar lunas. Pembatalan SKPKB ini mengirimkan pesan bahwa DJP perlu mempertimbangkan bukti pemenuhan kewajiban pajak di masa pajak lain sebelum memaksakan koreksi yang berpotensi ganda.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah pentingnya bagi Wajib Pajak untuk selalu memastikan bahwa kewajiban pemotongan PPh Final dilaksanakan sesuai peraturan, namun keberhasilan PT AAC menunjukkan bahwa prinsip kebenaran materiil memberikan jalan keluar atas sengketa timing. Kepastian untuk dapat menyajikan bukti otentik pemenuhan pajak adalah strategi kunci untuk membatalkan koreksi otoritas pajak.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini