Indonesia tengah menghadapi tekanan fiskal menjelang akhir tahun, ditandai dengan melemahnya penerimaan pajak yang menuntut respons strategis dari otoritas pajak dan pemerintah. Di saat yang sama, berbagai reformasi struktural terus didorong, mulai dari pembenahan kebijakan perpajakan, hukum, hingga investasi termasuk rencana adopsi sistem hukum Common Law dan penetapan tarif pungutan baru. Perkembangan ini mencerminkan dinamika ekonomi dan bisnis yang dipengaruhi isu penerimaan negara, perubahan regulasi, serta kebutuhan menjaga keamanan dan keandalan sistem digital pemerintah.
Pemerintah Indonesia mengambil langkah-langkah strategis dalam menghadapi tantangan fiskal dan memperkuat iklim investasi, meskipun penerimaan negara dari sektor pajak masih mengalami perlambatan signifikan menjelang penutupan tahun anggaran 2025. Penurunan ini, dipengaruhi oleh aktivitas bisnis yang lesu dan harga komoditas global, menuntut Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk semakin gencar melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi guna mencapai target APBN. Untuk mengoptimalkan penerimaan dan mengendalikan konsumsi masyarakat, Pemerintah mulai memberlakukan tarif pungutan baru terhadap komoditas emas, batu bara, dan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Pengamat ekonomi juga mencatat bahwa kebijakan pengenaan bea keluar terhadap ekspor emas oleh Pemerintah sangat dipengaruhi oleh minat investasi masyarakat Indonesia terhadap emas domestik, yang menentukan ketersediaan pasokan di pasar lokal.
Di sisi reformasi, Pemerintah berencana mengadopsi beberapa prinsip dari sistem hukum Common Law yang diterapkan di negara-negara maju. Langkah ini diambil Pemerintah untuk memperkuat kepastian hukum bagi investor asing dan domestik serta meningkatkan kepercayaan pasar terhadap iklim investasi Indonesia, khususnya dalam penyelesaian sengketa bisnis. Sejalan dengan upaya modernisasi, DJP secara tegas mengimbau masyarakat dan Wajib Pajak (WP) agar waspada terhadap kemunculan situs Coretax palsu yang bahkan menggunakan domain resmi .go.id. Penemuan situs palsu ini menunjukkan adanya upaya kejahatan siber yang menargetkan data sensitif perpajakan, sehingga DJP menekankan pentingnya Wajib Pajak selalu mengakses layanan pajak melalui saluran resmi dan terverifikasi.
Dinamika dan perubahan kebijakan yang terjadi pada sektor perpajakan dan hukum ini membawa implikasi langsung bagi pelaku bisnis dan investor. Pelambatan penerimaan pajak menjadi sinyal kewaspadaan bagi pemerintah mengenai kesehatan ekonomi domestik, yang dapat berujung pada pengetatan fiskal atau peningkatan intensitas pemeriksaan pajak. Di sisi lain, rencana adopsi prinsip Common Law berpotensi besar meningkatkan attractiveness Indonesia di mata investor asing karena jaminan kepastian hukum yang lebih kuat dalam kontrak dan sengketa bisnis. Namun, Wajib Pajak juga harus sangat berhati-hati terhadap ancaman siber berupa situs Coretax palsu yang berpotensi merugikan, menuntut penguatan sistem keamanan dan validasi informasi resmi. Sementara itu, pemberlakuan pungutan baru pada emas, batu bara, dan MBDK akan mengubah struktur biaya bagi industri terkait dan menggeser pola konsumsi masyarakat, sekaligus memperkuat basis penerimaan APBN secara berkelanjutan.
Kumpulan informasi ini menegaskan bahwa otoritas fiskal dan regulator Indonesia sedang aktif melakukan penyesuaian kebijakan untuk menghadapi tantangan ekonomi yang kompleks. Penurunan penerimaan pajak menjadi prioritas utama yang harus diselesaikan melalui efektivitas pengawasan dan ekstensifikasi. Pada saat yang sama, reformasi hukum dan pajak baru seperti pungutan MBDK dan perubahan bea keluar emas menunjukkan komitmen pemerintah dalam meningkatkan efisiensi penerimaan dan memperkuat iklim investasi. Pelaku usaha dan masyarakat wajib memahami perubahan regulasi ini secara menyeluruh dan selalu memastikan validitas informasi dari sumber resmi agar strategi investasi dan kepatuhan pajak tetap terjaga.