Sektor perpajakan dan kepabeanan kembali diwarnai isu penting terkait integritas aparatur, kepatuhan wajib pajak, dan efektivitas kebijakan fiskal. Laporan terbaru mengungkap praktik korupsi pajak dengan modus lama, sorotan atas pelaksanaan tax amnesty, serta kenaikan penerimaan cukai yang dibarengi meningkatnya kasus rokok ilegal. Di tengah dinamika tersebut, wacana moratorium cukai muncul sebagai upaya meredam tekanan pada industri tembakau. Pembahasan difokuskan pada perkembangan di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).
Sistem perpajakan nasional kembali menghadapi tantangan integritas setelah terungkapnya modus korupsi pajak lama yang melibatkan kongkalikong antara oknum pegawai pajak dan pengusaha untuk mengurangi tagihan pajak Wajib Pajak (WP) tertentu. Praktik ini merugikan keuangan negara secara signifikan dan merusak kepercayaan publik, sehingga menuntut pengawasan internal yang lebih ketat di Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Isu integritas ini diperparah oleh sorotan terhadap program pengampunan pajak (tax amnesty) yang kembali dikaitkan dengan kasus hukum yang menjerat mantan Direktur Jenderal Pajak, menekankan pentingnya transparansi dan tata kelola yang ketat dalam pelaksanaan program tersebut.
Sementara itu, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) mencatatkan kinerja positif di sektor Kepabeanan dan Cukai, dengan penerimaan negara mencapai Rp249,3 triliun hingga Oktober 2025. Namun, DJBC juga melaporkan kenaikan sebesar 41% pada kasus rokok ilegal, dengan total 15.800 kasus yang ditindak. Kenaikan kasus rokok ilegal ini merugikan penerimaan negara dari cukai dan menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat bagi industri rokok legal.
Menanggapi tekanan industri, wacana moratorium kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun 2026 dinilai dapat meredam tekanan yang dihadapi oleh industri tembakau. Moratorium ini diharapkan memberikan jeda bagi industri untuk memulihkan diri dan meningkatkan daya saing di tengah tantangan rokok ilegal dan penurunan konsumsi legal.
Isu-isu ini membawa implikasi signifikan bagi pelaku bisnis dan kesehatan fiskal negara. Terungkapnya korupsi pajak dan sorotan terhadap kasus tax amnesty menuntut pemerintah untuk memperkuat integritas aparatur dan menciptakan sistem pengawasan yang ketat untuk memulihkan kepercayaan Wajib Pajak dan memastikan keadilan perpajakan. Bagi industri tembakau, wacana moratorium cukai memberikan sinyal positif yang dapat meringankan beban biaya dan membantu pemulihan. Namun, kenaikan kasus rokok ilegal sebesar 41% menunjukkan bahwa kebijakan cukai yang ada perlu diimbangi dengan pengawasan yang lebih efektif dan tindakan hukum yang lebih tegas dari DJBC untuk menjaga penerimaan negara dan melindungi industri legal.
Beberapa peristiwa berikut menunjukkan bahwa otoritas fiskal Indonesia menghadapi tantangan ganda: memaksimalkan penerimaan negara (terbukti dari kinerja cukai yang solid) sekaligus memerangi praktik ilegal (lonjakan rokok ilegal) dan memperbaiki integritas institusi (kasus korupsi pajak). Pemerintah wajib menindak tegas oknum aparatur dan memperkuat sistem digitalisasi untuk meminimalisir intervensi manusia yang berpotensi korupsi. Pelaku usaha dan Wajib Pajak perlu mendukung reformasi tata kelola dan menjaga kepatuhan agar sistem perpajakan dapat berfungsi secara adil dan efisien demi kesehatan fiskal negara.