Isu-isu terkini di sektor fiskal didominasi oleh tantangan penerimaan negara, rencana reformasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN), serta kebijakan insentif investasi berskala besar. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menghadapi potensi kehilangan penerimaan hingga Rp530 triliun akibat pemberian insentif fiskal seperti tax holiday. Di saat yang sama, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) bersama Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan memperkenalkan skema insentif pajak 0% untuk Family Office di Bali, yang menjadi sorotan publik di tengah rendahnya tingkat kepatuhan perusahaan dalam pelaporan pemilik manfaat (beneficial ownership).
Pemerintah dihadapkan pada dilema besar dalam kebijakan fiskal, yakni besarnya biaya insentif investasi versus kebutuhan peningkatan penerimaan. Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) menyebut potensi pajak tak terpungut akibat insentif fiskal seperti tax holiday menembus Rp530 triliun. Angka yang besar ini menggarisbawahi biaya untuk menarik investasi. Sementara itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berada di antara godaan untuk menurunkan tarif PPN atau membenahi administrasi PPN. Pilihan ini menunjukkan dilema dalam reformasi perpajakan antara mendorong daya beli melalui keringanan tarif atau menutup kebocoran melalui perbaikan tata kelola.
Upaya menarik investasi kelas kakap diperkuat dengan skema pajak yang sangat menarik. Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan membocorkan skema Family Office, yaitu pajak 0% di awal dan pembayaran saat investasi berjalan. Skema insentif pajak ini bertujuan menarik ultra-high-net-worth individuals (UHNWI) untuk menempatkan dana di Indonesia, sekaligus menjadi upaya konkret untuk merealisasikan rencana pusat keuangan Bali.
Di sisi lain, kelemahan mendasar dalam kepatuhan dan transparansi korporasi masih menjadi tantangan serius. Kepatuhan perusahaan dalam melaporkan pemilik manfaat (Beneficial Ownership) masih rendah, di mana baru 51 perusahaan yang lapor. Angka ini mengindikasikan adanya tantangan serius dalam transparansi korporasi dan menuntut upaya lebih keras dari pemerintah untuk mencegah praktik pencucian uang dan penghindaran pajak. Untuk diversifikasi penerimaan, regulasi perdagangan karbon direvisi oleh pemerintah. Revisi ini bertujuan mempercepat implementasi pasar karbon, diharapkan dapat menjadi sumber penerimaan negara baru dan memberikan manfaat bagi ekonomi melalui mekanisme mitigasi perubahan iklim.
Pengumuman Wamenkeu terkait potensi pajak tak terpungut (Rp530 triliun) menegaskan bahwa insentif investasi memiliki biaya fiskal yang sangat besar. Kondisi ini menempatkan Menkeu Purbaya pada posisi dilematis dalam reformasi PPN. Sementara itu, Menko Luhut menggebrak dengan skema Family Office pajak 0%, menunjukkan bahwa pemerintah bersedia memberikan insentif ekstrem untuk menarik modal, yang kontras dengan rendahnya kepatuhan perusahaan dalam pelaporan pemilik manfaat. Revisi regulasi perdagangan karbon menjadi harapan baru bagi penerimaan ekonomi hijau.
Perkembangan terbaru memperlihatkan bahwa pemerintah kini berfokus pada upaya menyeimbangkan antara menarik investasi besar melalui skema Family Office dengan pajak 0% dan menjaga stabilitas penerimaan negara melalui reformasi PPN serta revisi mekanisme perdagangan karbon. Tantangan utamanya terletak pada rendahnya kepatuhan pelaporan pemilik manfaat serta besarnya beban fiskal akibat berbagai insentif yang diberikan. Keberhasilan reformasi perpajakan ke depan akan sangat ditentukan oleh strategi Menteri Keuangan Purbaya dalam memilih antara penyesuaian tarif PPN atau memperkuat administrasi untuk menekan potensi kebocoran penerimaan.