Kinerja fiskal dan neraca pembayaran Indonesia menunjukkan tekanan signifikan pada paruh kedua 2025. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat defisit APBN yang melebar dan realisasi belanja pemerintah yang masih lambat, sementara Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kembali mencatat defisit. Di sisi lain, investasi pada sektor industri strategis seperti nikel turut disorot akibat minimnya riset pendukung. Laporan terbaru menyoroti kondisi defisit anggaran, realisasi subsidi, perkembangan investasi nikel, serta dampak perlambatan belanja pemerintah terhadap perekonomian nasional.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan bahwa defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga Oktober 2025 telah mencapai Rp479,7 triliun, setara dengan 2,02% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit ini muncul karena pertumbuhan pendapatan yang lebih lambat dibandingkan pertumbuhan belanja, menandakan adanya tekanan fiskal yang memerlukan pengelolaan anggaran yang cermat. Sejalan dengan hal tersebut, laju penyerapan belanja pemerintah juga terlihat lambat, baru mencapai 70,6% dari total anggaran, dengan program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dilaporkan penyerapannya masih di bawah 60%. Fenomena lambatnya belanja ini menghambat multiplier effect fiskal dan mengurangi stimulus yang dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi menjelang akhir tahun. Bahkan, Kemenkeu mencatat bahwa realisasi pembayaran subsidi dan kompensasi energi baru mencapai Rp315 triliun atau 66,3% dari outlook APBN, disebabkan oleh mekanisme pembayaran kompensasi yang perlu ditinjau ulang.
Di sisi eksternal, Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) mencatatkan defisit sebesar US$6,4 miliar pada Kuartal III 2025, dipicu oleh transaksi modal dan finansial yang defisit. Meskipun transaksi berjalan masih surplus, BI menegaskan bahwa kondisi NPI ini tetap terkendali karena didukung oleh cadangan devisa (Cadev) yang tinggi, mencapai US$148,7 miliar.
Adapun, dalam sektor industri strategis, Ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menyoroti kelemahan investasi di bidang riset dan pengembangan (R&D) dalam industri nikel Indonesia. Indonesia, sebagai produsen nikel terbesar dunia, dianggap masih tergantung pada teknologi asing untuk pengolahan nikel hulu hingga hilir. Kurangnya investasi riset ini berpotensi menghambat upaya hilirisasi nikel yang bernilai tambah tinggi, meskipun pemerintah terus mendorong sektor ini.
Dinamika ini membawa implikasi krusial bagi kebijakan fiskal dan peluang investasi di Indonesia. Defisit APBN yang melebar dan NPI yang defisit menunjukkan tantangan makroekonomi ganda: menjaga kesehatan fiskal sambil menarik arus modal asing di tengah ketidakpastian global. Pelambatan belanja pemerintah dan realisasi subsidi yang rendah berdampak langsung pada aktivitas sektor riil dan daya beli masyarakat, menuntut percepatan eksekusi program-program yang tertunda untuk memberikan stimulus ekonomi yang optimal pada akhir tahun. Bagi investor, defisit NPI yang didukung Cadev tinggi memberikan sinyal stabilitas jangka pendek, tetapi lemahnya investasi riset nikel menunjukkan bahwa peluang bisnis besar terdapat pada transfer teknologi dan pengembangan R&D domestik untuk meningkatkan nilai tambah hilirisasi sumber daya alam.
Secara keseluruhan, laporan ekonomi ini menyoroti perluasan defisit fiskal dan eksternal sebagai tantangan utama yang harus diatasi oleh otoritas Indonesia. Kemenkeu perlu mengelola defisit APBN secara hati-hati dan mempercepat belanja pemerintah agar dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang melambat. Di sisi lain, defisit NPI dan isu riset nikel menegaskan pentingnya reformasi struktural yang lebih dalam, terutama dalam meningkatkan daya saing industri dan kemandirian teknologi. Pelaku bisnis dan investor perlu mencermati sinkronisasi kebijakan fiskal dan moneter serta mencari peluang investasi di sektor yang mendukung hilirisasi dan riset teknologi untuk pertumbuhan berkelanjutan.