Kompleksitas Peraturan Menteri Pertanian mengenai kemitraan kelapa sawit senantiasa menimbulkan perdebatan, terutama dalam penentuan Harga Pokok Penjualan (HPP) dan perlakuan biaya oleh perusahaan inti. Kasus PT TBSM ini menyoroti sengketa mendasar mengenai pembebanan biaya pengelolaan kebun plasma yang berdampak langsung pada Penghasilan Kena Pajak Tahun Pajak 2021. Sengketa ini berpusat pada koreksi PPh Badan yang menghasilkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) senilai Rp. 143.462.786,00 di mana fokus koreksi DJP adalah memindahkan biaya yang telah dibukukan sebagai Piutang Plasma ke pos Peredaran Usaha, yang diikuti koreksi Penyesuaian Fiskal.
Inti Konflik dalam kasus ini adalah perbedaan interpretasi perlakuan akuntansi atas biaya plasma. DJP, dalam upaya menerapkan prinsip penandingan biaya dan penghasilan (matching cost against revenue), berpendapat bahwa biaya pengelolaan kebun plasma—yang meliputi penyusutan aset, pemakaian raw material, bonus, dan donasi senilai Rp. 13.111.055.101,00—seharusnya dibebankan sepenuhnya sebagai HPP komersial. Namun, PT TBSM berargumen bahwa biaya tersebut adalah transaksi yang sah dengan pihak ketiga dan telah dicatat sesuai mekanisme kemitraan, yaitu sebagai Piutang Plasma yang dapat ditagihkan di kemudian hari. DJP dinilai keliru karena mengoreksi HPP tersebut menjadi Peredaran Usaha, yang secara substansial mengubah pengakuan pendapatan PT TBSM tanpa pembuktian yang memadai.
Resolusi atas konflik ini diputuskan oleh Majelis Hakim yang berkesimpulan untuk mengabulkan seluruhnya permohonan banding PT TBSM. Majelis Hakim menilai bahwa DJP tidak mampu menyajikan bukti yang meyakinkan, baik secara legal maupun faktual, untuk membatalkan pencatatan biaya dan HPP yang dilakukan PT TBSM. Koreksi yang membalikkan HPP ke Peredaran Usaha dianggap tidak berdasar. Dengan demikian, Majelis menguatkan argumen PT TBSM bahwa biaya yang dikeluarkan adalah deductible expense yang wajar dan koreksi Penyesuaian Fiskal yang merupakan turunan dari koreksi HPP utama juga batal demi hukum.
Analisis dan Dampak Putusan ini menegaskan bahwa dalam sengketa yang melibatkan mekanisme akuntansi dan kontrak yang spesifik seperti skema plasma, beban pembuktian ada di tangan DJP untuk menunjukkan bahwa pencatatan Wajib Pajak adalah salah. Putusan ini memberikan preseden penting bagi Wajib Pajak sektor perkebunan, khususnya kelapa sawit, mengenai validitas pencatatan biaya plasma sebagai Piutang, selama didukung oleh dokumentasi kontrak yang kuat dan koherensi pembukuan. Kegagalan DJP dalam membuktikan bahwa Piutang Plasma tersebut merupakan revenue yang belum diakui menjadi kunci kemenangan Wajib Pajak. Implikasinya, Wajib Pajak harus senantiasa memastikan koherensi antara perjanjian kemitraan, pembukuan komersial, dan penyesuaian fiskal.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah Wajib Pajak harus berhati-hati dalam perlakuan akuntansi-fiskal skema plasma dan siap mempertahankan pembukuannya dengan dokumentasi yang tidak terbantahkan. Putusan ini menjadi pengingat bagi DJP untuk menyusun argumentasi koreksi yang didukung oleh bukti kuat, tidak hanya berdasarkan interpretasi prinsip matching semata.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini