Penerbitan Surat Direktur Jenderal Pajak (DJP) yang secara formal mengembalikan permohonan Wajib Pajak (WP) untuk Pembatalan Surat Tagihan Pajak (STP) yang dianggap Tidak Benar, kini memiliki implikasi yuridis yang signifikan pasca Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-003001.99/2024/PP/M.XVA Tahun 2025. Sengketa ini berpusat pada pertanyaan fundamental mengenai cakupan objek gugatan di Pengadilan Pajak berdasarkan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. PT JEI sebagai Penggugat, secara tegas menentang surat pengembalian permohonan administratif (Surat S-897/WPJ.07/2024) yang dianggap menutup akses mereka pada hak penyelesaian sengketa di tingkat DJP.
Inti konflik yang mendasari sengketa ini adalah perbedaan tafsir terhadap Surat Pengembalian Permohonan tersebut. Pihak DJP (Tergugat) berargumen bahwa surat tersebut hanyalah tindakan prosedural yang bersifat pemberitahuan formal yang diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK), dan bukan keputusan akhir yang substantif. Argumen formal DJP didasarkan pada anggapan adanya keberatan yang pernah diajukan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) yang dianggap terkait dengan STP yang dimintakan pembatalan. Dengan demikian, DJP menganggap permohonan WP melanggar syarat formal, merujuk pada ketentuan yang melarang pengajuan pembatalan STP yang terkait dengan SKPKB yang telah diajukan keberatan, sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 8/PMK.03/2013 (atau sejenisnya).
Sebaliknya, Penggugat mendalilkan bahwa surat pengembalian tersebut, meskipun prosedural, telah menimbulkan akibat hukum yang riil, yaitu hilangnya hak WP untuk diproses permohonannya sesuai Pasal 36 ayat (1) huruf b atau huruf c Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Secara kronologis, WP menegaskan bahwa dasar penerbitan STP yang dimohonkan pembatalan (misalnya terkait sanksi administrasi) tidak terkait dengan koreksi yang mendasari SKPKB yang diajukan keberatan sebelumnya. Oleh karena itu, alasan formal DJP untuk menolak permohonan dengan dalih adanya keberatan yang pernah diajukan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) yang dianggap terkait dengan STP yang dimintakan pembatalan dianggap tidak tepat, yang secara esensi sama dengan penolakan hak WP.
Majelis Hakim meninjau kembali ketentuan Pasal 23 ayat (2) UU Pengadilan Pajak yang memungkinkan gugatan atas Keputusan DJP yang merugikan. Majelis berpandangan bahwa keputusan DJP yang mengakibatkan tidak diprosesnya permohonan administratif telah secara nyata memutus hak WP dalam mencari keadilan perpajakan. Mengingat STP yang digugat memiliki dasar yang berbeda dengan sengketa sebelumnya, surat pengembalian yang menutup jalur administratif ini dikategorikan sebagai Keputusan yang merugikan dan karenanya merupakan objek gugatan yang sah. Putusan ini secara mutlak mengabulkan gugatan Penggugat. Keputusan Majelis Hakim ini memperluas ruang lingkup perlindungan hukum bagi Wajib Pajak, memastikan bahwa prosedur administratif tidak boleh mengalahkan substansi dari hak Wajib Pajak untuk mendapatkan kepastian hukum.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini