Pengadilan Pajak kembali menerbitkan putusan penting yang menyoroti bagaimana perbedaan interpretasi atas pengakuan pendapatan dan perlakuan biaya natura dapat menimbulkan koreksi signifikan dalam sengketa PPh Badan. Kasus PT TMP berfokus pada tiga isu utama: klaim mutu atas penjualan CPO, pemberian catu beras bagi karyawan di perkebunan, serta selisih ekualisasi PPh Pasal 21.
DJP berpendapat bahwa klaim mutu yang diselesaikan PT TMP pada tahun berjalan seharusnya dibebankan pada tahun sebelumnya, sehingga mengurangi omzet tahun tersebut. Selain itu, DJP menilai pemberian catu beras merupakan natura yang tidak dapat dikurangkan, dan selisih ekualisasi PPh 21 menunjukkan adanya unsur biaya yang tidak tepat. PT TMP membantah seluruh koreksi tersebut, dengan alasan bahwa klaim mutu baru selesai secara ekonomis pada tahun pajak yang disengketakan, sementara catu beras merupakan fasilitas kerja yang diwajibkan dalam PKB dan melekat pada operasional perkebunan di daerah terpencil.
Majelis pada akhirnya memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan banding PT TMP. Setelah menilai bukti dan penjelasan kedua belah pihak, Majelis menemukan bahwa DJP tidak dapat menunjukkan secara pasti bahwa selisih ekualisasi PPh 21 benar-benar merupakan natura yang tidak boleh dibebankan. Majelis juga menilai bahwa pengakuan klaim mutu memerlukan kejelasan mengenai kapan transaksi tersebut selesai secara ekonomis, bukan sekadar kapan diajukan. Hasil akhirnya, sebagian koreksi DJP dinyatakan tidak dapat dipertahankan.
Putusan ini menegaskan bahwa koreksi fiskal—terutama yang berkaitan dengan natura atau timing pengakuan pendapatan—memerlukan pembuktian yang konkret dan metodologi yang jelas. PT TMP berhasil menunjukkan bahwa biaya yang disengketakan berkaitan langsung dengan kegiatan operasional, sementara DJP belum memberikan dasar perhitungan yang memadai. Sengketa ini menjadi pengingat bahwa koreksi tidak dapat berdiri di atas asumsi, tetapi harus dibangun di atas data, analisis, dan pemetaan yang dapat diuji.
Putusan PT TMP juga mengingatkan bahwa perlakuan fiskal atas natura harus selalu dibaca dalam konteks tahun pajaknya. Pada Tahun Pajak 2017, natura pada prinsipnya memang tidak dapat dibebankan, kecuali dalam kondisi tertentu. Namun kerangka regulasi kini telah berubah: sejak PMK 66/2023, natura dapat menjadi biaya yang dapat dikurangkan, sepanjang telah dipotong dan disetorkan PPh Pasal 21 sesuai ketentuan. Perubahan ini menunjukkan bahwa koreksi atas natura tidak dapat dilakukan secara otomatis, tetapi harus mempertimbangkan baik kondisi historis maupun rezim perpajakan yang berlaku.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini