Presiden Prabowo Subianto telah memberikan arahan tegas kepada jajaran kabinetnya untuk melakukan evaluasi komprehensif terhadap dua kebijakan ekonomi strategis. Fokus utama evaluasi ini adalah efektivitas implementasi aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE) serta analisis skema pembiayaan utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) guna memitigasi potensi beban terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Arahan terkait DHE secara spesifik menyasar kajian atas *Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023*. Pemerintah akan meninjau secara mendalam apakah regulasi yang mewajibkan eksportir menempatkan sebagian DHE di dalam sistem keuangan domestik telah mencapai tujuannya atau memerlukan revisi untuk dioptimalkan. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengonfirmasi bahwa hasil evaluasi ini akan menjadi dasar penentuan kebijakan selanjutnya.
Di sisi lain, pemerintah juga diperintahkan untuk mengkaji struktur utang proyek kereta cepat kepada China Development Bank (CDB). Menurut Airlangga, Presiden Prabowo meminta agar skema penyelesaian utang dirumuskan secara cermat. "Kemudian juga terkait dengan kereta cepat, bagaimana penyelesaian utang supaya tidak membebani APBN," tegasnya. Instruksi ini menggarisbawahi prioritas pemerintah untuk memastikan keberlanjutan fiskal dalam pengelolaan proyek strategis nasional.
Kinerja PNBP Tertekan Volatilitas Komoditas dan Hilangnya Dividen BUMN
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada tahun 2025 menghadapi tekanan ganda yang bersumber dari faktor eksternal dan perubahan kebijakan internal. Pelemahan kinerja ini disebabkan oleh normalisasi harga komoditas global yang sebelumnya menjadi penopang utama, serta hilangnya setoran dividen dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang kini dialihkan pengelolaannya.
Tantangan utama berasal dari volatilitas harga komoditas andalan seperti batu bara dan minyak sawit mentah (CPO), yang secara historis menjadi kontributor signifikan bagi PNBP dari sektor sumber daya alam (SDA). Penurunan harga komoditas ini secara langsung mengoreksi potensi pendapatan negara, menciptakan risiko fiskal yang perlu dimitigasi oleh pemerintah. Kondisi ini menuntut adanya penyesuaian target dan strategi penerimaan yang lebih realistis.
Selain itu, tekanan struktural muncul dari implementasi kebijakan baru yang mengalihkan setoran dividen BUMN ke Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara). Perubahan ini secara efektif menghilangkan salah satu sumber utama PNBP dari pos Kekayaan Negara yang Dipisahkan (KND). Akibatnya, pemerintah dihadapkan pada urgensi untuk melakukan diversifikasi sumber-sumber PNBP non-SDA dan mengoptimalkan pos penerimaan lainnya untuk menjaga stabilitas APBN.
Sektor Manufaktur Bergeser ke Padat Modal, Isu Deindustrialisasi Menguat
Sektor manufaktur Indonesia tengah menghadapi tantangan struktural serius yang mengarah pada fenomena deindustrialisasi, ditandai oleh pergeseran signifikan dari industri padat karya ke arah padat modal. Transformasi ini menimbulkan implikasi krusial terhadap kapasitas penyerapan tenaga kerja nasional, meskipun secara nominal kontribusi sektor ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih tercatat kuat.
Data menunjukkan bahwa elastisitas penyerapan tenaga kerja di sektor manufaktur terus menurun. Artinya, setiap persen pertumbuhan output industri kini hanya mampu menciptakan lapangan kerja dalam porsi yang jauh lebih kecil dibandingkan dekade sebelumnya. Fenomena ini diperburuk oleh melambatnya pertumbuhan di subsektor padat karya seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT) serta alas kaki, yang secara historis menjadi penyerap tenaga kerja massal.
Pergeseran menuju industri padat modal, seperti hilirisasi sumber daya alam, memang mampu meningkatkan nilai tambah dan kontribusi ekonomi, namun tidak diimbangi dengan penciptaan lapangan kerja yang sepadan. Para ekonom menilai bahwa tanpa intervensi kebijakan yang strategis untuk merevitalisasi industri padat karya, Indonesia berisiko mengalami pertumbuhan ekonomi tanpa penciptaan lapangan kerja (jobless growth), yang dapat memperlebar ketimpangan sosial dan menghambat agenda pembangunan jangka panjang.