Penerapan tarif PPh Pasal 26 berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) mensyaratkan kepatuhan formalitas yang ketat, di mana Surat Keterangan Domisili (SKD) atau Form DGT Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) menjadi dokumen krusial penentu hak pemanfaatan. Konteks ini menjadi inti konflik dalam sengketa banding antara PT HI melawan Direktur Jenderal Pajak (DJP), yang berpangkal pada Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPh Pasal 26 Masa Pajak Mei 2017. DJP, sebagai otoritas pajak, melakukan koreksi positif atas Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh Pasal 26, utamanya berdasarkan dugaan bahwa WPLN yang menerima penghasilan tidak memenuhi syarat administratif SKD/Form DGT, sehingga tarif PPh Pasal 26 normal 20% wajib diterapkan.
Inti Konflik berpusat pada dua isu: pertama, legalitas DJP merekonsiliasi objek Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean (PPN JLN) sebagai dasar pengenaan PPh Pasal 26; dan kedua, konsekuensi kegagalan PT HI melengkapi persyaratan formal SKD. DJP berargumen bahwa keberadaan PPN JLN merupakan indikasi kuat adanya pembayaran kepada WPLN yang berpotensi menjadi objek PPh Pasal 26, dan karena syarat formal P3B tidak dipenuhi, tarif 20% harus ditegakkan. Sebaliknya, PT HI membantah, menyatakan bahwa objek PPN JLN secara hukum berbeda dengan objek PPh Pasal 26. PT HI menuntut agar Majelis Hakim melihat hakikat transaksi dan hak materiil WPLN untuk memanfaatkan P3B.
Untuk resolusi konflik ini, Majelis Hakim memberikan putusan Kabul Sebagian. Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis menunjukkan bahwa dalil dan bukti yang disajikan DJP tidak cukup kuat untuk mempertahankan seluruh nilai koreksi. Majelis hanya meyakini dan mempertahankan sebagian kecil nilai koreksi DPP PPh Pasal 26. Keputusan ini secara implisit menolak premis DJP bahwa seluruh objek PPN JLN otomatis dapat dikoreksi menjadi objek PPh Pasal 26 hanya berdasarkan formalitas SKD.
Analisis putusan ini membawa implikasi signifikan. Keputusan Majelis menegaskan bahwa meskipun kepatuhan formal SKD/Form DGT adalah wajib untuk secara otomatis mendapatkan manfaat tarif P3B, otoritas pajak tetap harus membuktikan substansi penghasilan yang dikoreksi. Jika objek koreksi (dalam hal ini, yang didasarkan pada rekonsiliasi PPN JLN) tidak dapat dibuktikan secara meyakinkan sebagai penghasilan WPLN yang terutang PPh Pasal 26 (misalnya, karena berupa reimbursement atau bukan objek PPh), koreksi tersebut dapat dibatalkan. Putusan ini menjadi pengingat bagi Wajib Pajak untuk tidak hanya fokus pada kelengkapan SKD, namun juga pada dokumentasi substansi setiap transaksi PPN JLN untuk mengantisipasi sengketa rekonsiliasi.
Sebagai kesimpulan, kasus PT HI menyoroti pentingnya pembuktian yang komprehensif dalam sengketa PPh Pasal 26 terkait P3B. Pelajaran yang dapat diambil adalah perlunya Wajib Pajak untuk selalu menjaga ketaatan formalitas SKD. Namun, jika sengketa terjadi, Wajib Pajak memiliki peluang untuk mematahkan koreksi dengan membuktikan perbedaan hakikat objek pajak, khususnya menantang metodologi rekonsiliasi PPN JLN yang tidak selalu selaras dengan ketentuan objek PPh Pasal 26.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini