Kepatuhan Wajib Pajak Badan Dalam Negeri (WPDN) terhadap Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU) dalam transaksi yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa kembali menjadi isu sentral sengketa PPh. Kasus PT WST yang menghadapi koreksi Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 sebesar Rp. 4.671.277.888,00 menyoroti kompleksitas penerapan koreksi sekunder (Secondary Adjustment) dalam rezim Transfer Pricing. Koreksi PPh Pasal 26 ini timbul semata-mata sebagai konsekuensi lanjutan dari koreksi primer laba yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), di mana selisih tersebut dianggap sebagai pembagian keuntungan terselubung (Constructive Dividend) kepada entitas afiliasi di luar negeri. Keputusan Majelis Hakim untuk mengabulkan seluruh permohonan PT WST secara tegas membatasi kewenangan fiskus dalam mengenakan Secondary Adjustment tanpa dasar koreksi primer yang terbukti valid.
Inti konflik dalam persidangan ini bermula dari keyakinan DJP yang secara konsisten berpegangan pada Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang PPh. Ketentuan ini memberikan mandat kepada DJP untuk menentukan kembali besarnya Penghasilan Kena Pajak, termasuk memperlakukan selisih keuntungan yang dialihkan sebagai dividen terselubung, dan oleh karena itu, wajib dikenakan PPh Pasal 26. Namun, PT WST dengan tegas membantah dasar koreksi tersebut. Perusahaan memaparkan Dokumentasi Transfer Pricing yang menunjukkan bahwa laba operasionalnya telah berada di dalam rentang kewajaran, sehingga tidak ada pengalihan keuntungan yang tidak wajar. Bantahan PT WST tidak hanya berhenti pada pembuktian faktual, tetapi juga menggunakan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia-Singapura sebagai payung hukum, menegaskan bahwa koreksi fiskal tidak memenuhi definisi dividen yang diakui dalam Pasal 10 ayat (3) P3B tersebut.
Dalam telaah hukum yang dilakukan, Majelis Hakim mengambil sikap yang fundamental dengan memfokuskan pembuktian pada akar masalah, yaitu keabsahan koreksi primer. Majelis secara cermat memeriksa bukti-bukti perbandingan yang diajukan oleh PT WST, termasuk analisis fungsional dan pemilihan pembanding. Berdasarkan keyakinan Hakim, Majelis menyimpulkan bahwa PT WST telah berhasil membuktikan bahwa transaksi afiliasinya telah memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. Konsekuensinya, tidak ada Primary Adjustment yang sah. Resolusi Majelis Hakim ini secara yuridis berimplikasi langsung terhadap koreksi sekunder. Jika koreksi induk (koreksi laba) gugur, maka koreksi turunan (PPh Pasal 26 atas dividen terselubung) secara logis dan hukum juga tidak dapat dipertahankan.
Analisis dan dampak putusan ini memiliki implikasi signifikan bagi praktik Transfer Pricing di Indonesia. Putusan ini menjadi preseden yang sangat penting bagi Wajib Pajak yang menghadapi Secondary Adjustment, karena menegaskan bahwa pertahanan terbaik adalah pada pembuktian PKKU atas koreksi primer. Jika Wajib Pajak mampu meyakinkan Majelis bahwa labanya sudah wajar, segala koreksi turunan yang didasarkan pada koreksi laba tersebut, termasuk PPh Pasal 26 atas Constructive Dividend, harus dibatalkan. Putusan ini memperkuat perlindungan hukum bagi Wajib Pajak dan menjadi pengingat bagi otoritas pajak bahwa pengenaan Secondary Adjustment harus didukung oleh validitas koreksi primer yang teruji secara substansial.
Kasus ini memberikan pelajaran berharga bagi perusahaan multinasional untuk senantiasa memastikan kepatuhan harga transfer secara proaktif dan komprehensif. Peran DJP dalam memberikan pedoman yang jelas mengenai harmonisasi antara ketentuan domestik (termasuk mekanisme Repatriasi di PMK 172/2023) dan P3B juga krusial untuk meminimalkan sengketa di masa mendatang dan mencegah risiko pajak berganda internasional.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini