Konflik regulasi antara kewajiban kemitraan inti-plasma dalam industri kelapa sawit dengan ketentuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kembali mencuat. Putusan ini menegaskan dominasi prinsip fatbestand transaksional dalam PPN, alih-alih substansi ekonomi skema pembiayaan. Sengketa ini berpusat pada koreksi DPP PPN sebesar Rp. 1.466.003.802 dari alokasi biaya operasional dan management fee yang dibebankan kepada kebun plasma.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bersikukuh bahwa alokasi biaya material, tenaga kerja, dan management fee 5% yang dilakukan PT TTSM kepada kebun plasma merupakan penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang PPN. DJP melihat adanya perbuatan hukum yang menimbulkan hak tagih di mana PT TTSM telah melakukan pengelolaan kebun yang diklasifikasikan sebagai Jasa Manajemen. Sebaliknya, PT TTSM membantah koreksi ini. Perusahaan inti tersebut berargumen bahwa biaya tersebut adalah bentuk pemenuhan kewajiban kemitraan yang terintegrasi dan semata-mata cost recovery atas dana talangan, bukan imbalan atas jasa yang terpisah. PT TTSM menekankan bahwa PPN tidak seharusnya dikenakan jika transaksi tersebut tidak menambah kemampuan ekonomis perusahaan, sebagaimana pendekatan dalam PPh.
Majelis Hakim Pengadilan Pajak secara tegas memposisikan PPN sebagai pajak tidak langsung yang netral dan didasarkan pada prinsip transaksional (fatbestand atau legal format bestand). Hakim berpendapat bahwa fakta adanya pencatatan akuntansi yang menimbulkan piutang atau hak tagih dari PT TTSM kepada kebun plasma telah memenuhi unsur penyerahan jasa. Meskipun PT TTSM berargumen menggunakan perspektif PPh (substance over form), Majelis menegaskan bahwa dalam konteks PPN, keberadaan transaksi dan hak tagih adalah kriteria yang lebih krusial. Konsekuensinya, Majelis Menolak banding PT TTSM, mengukuhkan koreksi DPP PPN.
Putusan ini memberikan implikasi signifikan bagi seluruh perusahaan inti yang menjalankan skema kemitraan plasma. Keputusan Majelis memperkuat preseden bahwa dalam sengketa PPN, format atau pencatatan transaksi akan lebih dipertimbangkan daripada substansi kemitraan. Pelajaran bagi Wajib Pajak adalah pentingnya memisahkan secara jelas (dari sisi hukum dan akuntansi) antara dana talangan/pinjaman modal kerja kepada plasma yang wajib dikembalikan, dengan penyerahan jasa yang disengaja. Jika dokumentasi menunjukkan adanya management fee dan alokasi biaya yang diserap oleh plasma, risiko dikualifikasikan sebagai JKP akan sangat tinggi.
Kasus ini berfungsi sebagai peringatan bahwa Wajib Pajak sektor perkebunan wajib menyusun perjanjian dan mekanisme penagihan yang bulletproof untuk memastikan bahwa pembiayaan kebun plasma tidak diinterpretasikan sebagai penyerahan Jasa Kena Pajak.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini