Pelaksanaan upaya hukum keberatan adalah hak fundamental Wajib Pajak yang dijamin oleh Pasal 25 UU KUP, tetapi dalam praktiknya hak tersebut tidak selalu berjalan mulus. Hal itu dialami oleh PT YMEI ketika perusahaan berusaha menempuh keberatan atas koreksi Pajak Pertambahan Nilai melalui SKPKB yang diterbitkan fiskus. Surat keberatan telah diajukan sesuai ketentuan, lengkap dengan uraian argumentasi dan perhitungan yang menyatakan bahwa PPN terutang menurut perusahaan adalah nihil karena seluruh koreksi yang dilakukan fiskus ditolak. Namun alih-alih memproses permohonan tersebut melalui jalur keberatan sebagaimana mestinya, DJP justru menerbitkan surat pemberitahuan bahwa keberatan PT YMEI tidak memenuhi persyaratan formal. Alasan penolakan bukan terletak pada substansi, melainkan pada bentuk administrasi: surat keberatan dianggap tidak sah karena ditandatangani menggunakan cap atau stempel, bukan tanda tangan basah pengurus.
Surat pemberitahuan itu otomatis menutup pintu penyelesaian sengketa melalui keberatan, dan pada titik inilah persoalan tidak lagi sekadar mengenai koreksi pajak, melainkan mengenai hak dasar Wajib Pajak untuk mengakses proses hukum. PT YMEI tidak menerima perlakuan tersebut dan menempuh gugatan ke Pengadilan Pajak. Di ruang sidang, perdebatan berlangsung panas: DJP bersikukuh bahwa keputusan administratif tersebut sah dan surat keberatan tidak memenuhi syarat, sedangkan PT YMEI berargumen bahwa penggunaan cap tidak menghilangkan otorisasi pengurus dan substansi keberatan telah dipenuhi secara lengkap sesuai ketentuan.
Majelis Hakim Pengadilan Pajak akhirnya memberikan pijakan penting bagi perlindungan hak Wajib Pajak. Dalam putusannya, Majelis menegaskan bahwa surat pemberitahuan DJP yang menyatakan keberatan “tidak memenuhi persyaratan” merupakan keputusan administratif yang secara nyata membatasi hak PT YMEI untuk menempuh upaya keberatan, sehingga dapat digugat sesuai Undang-Undang Pengadilan Pajak. Setelah melakukan pemeriksaan mendalam mengenai otentikasi dan prosedur penandatanganan, Majelis menyimpulkan bahwa penggunaan cap dalam surat keberatan merupakan ekspresi sah dari persetujuan pengurus dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak memproses keberatan. Dengan demikian, keberatan PT YMEI secara formal telah memenuhi unsur Pasal 25 ayat (2) UU KUP dan DJP diperintahkan untuk memproses keberatan tersebut.
Putusan ini bukan hanya kemenangan PT YMEI, tetapi juga kemenangan bagi kepastian hukum Wajib Pajak pada umumnya. Melalui putusan tersebut, Pengadilan Pajak menegaskan bahwa penegakan administrasi tidak boleh menjadi instrumen untuk menghambat hak keberatan. Ketika substansi keberatan telah diuraikan jelas, termasuk jumlah pajak menurut perhitungan Wajib Pajak yang dinyatakan nihil karena seluruh koreksi ditolak, aturan formal tidak boleh ditafsirkan secara kaku sampai menutup akses hukum. Putusan ini menjadi preseden penting dan sinyal kuat bahwa perlindungan akses keadilan dalam proses perpajakan tetap menjadi prioritas. Bagi dunia usaha, pesan terpentingnya jelas: formalitas boleh wajib, tetapi keadilan tidak boleh dikorbankan.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini