Putusan Pengadilan Pajak dengan Nomor PUT-006248.12/2024/PP/M.XIVA Tahun 2025 menjadi sorotan hangat. Kasus ini bukan sekadar sengketa angka, melainkan pertarungan sengit mengenai hakikat sebuah "potongan penjualan" (diskon) dan legalitas penggunaan Surat Edaran (SE) sebagai dasar pengenaan pajak.
Sengketa ini bermula dari koreksi DJP atas potongan harga yang diberikan PT BI kepada pelanggan.
DJP berargumen bahwa potongan penjualan yang diberikan PT BI adalah penghargaan atau imbalan (bukan sekadar diskon harga jual) karena diberikan dengan syarat tertentu, yaitu jika pelanggan telah melunasi hutangnya.
Berdasarkan argumen ini, DJP menggunakan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-24/PJ/2018 untuk mengklasifikasikan diskon tersebut sebagai objek PPh Pasal 23, yang wajib dipotong oleh PT BI.
PT BI bersikukuh bahwa potongan tersebut adalah mekanisme pengurangan harga jual biasa yang dicatat melalui credit note dan dibukukan sebagai pengurangan penjualan.
Lebih lanjut, PT BI mengajukan tiga keberatan utama:
Majelis Hakim menyatakan bahwa DJP keliru menggunakan Surat Edaran sebagai dasar hukum untuk membebankan kewajiban pajak baru kepada Wajib Pajak.
Menurut hierarki peraturan, SE hanya bersifat pedoman internal bagi aparat pajak dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Lebih krusial, penerapan SE yang terbit di akhir tahun 2018 untuk transaksi sepanjang tahun tersebut dianggap melanggar asas larangan berlaku surut (non-retroaktif). Dengan demikian, landasan hukum DJP dinilai cacat yuridis.
Pengadilan Pajak menegaskan bahwa potongan penjualan adalah elemen penentu harga jual neto dan merupakan bagian tak terpisahkan dari transaksi jual beli barang. Sementara itu, Pasal 23 UU PPh secara eksplisit mengatur pemotongan pajak atas penghasilan tertentu seperti dividen, sewa, royalti, atau jasa, bukan jual beli barang.
Memisahkan potongan harga dari transaksi induknya dan mengklasifikasikannya sebagai objek PPh Pasal 23 dianggap penafsiran yang tidak tepat. Pemaksaan pengenaan pajak di masa lalu juga dikhawatirkan menciptakan pengenaan pajak berganda (double taxation).
Hakim juga menyoroti kesalahan prosedur DJP yang menggabungkan potensi pajak 12 bulan ke dalam satu Masa Pajak Desember 2018. PPh Pasal 23 harusnya terutang pada setiap masa pajak, sehingga penetapan secara akumulatif adalah kekeliruan prosedural.
Berdasarkan semua pertimbangan hukum tersebut, Pengadilan Pajak Mengabulkan seluruhnya banding PT BI.
Koeksi Dasar Pengenaan Pajak sebesar Rp21.296.987.295,00 dibatalkan.
Putusan ini memberikan kepastian hukum bahwa potongan penjualan yang merupakan bagian dari harga jual barang tidak dapat dipisahkan dan dikenakan PPh Pasal 23, serta menegaskan kembali bahwa Surat Edaran DJP tidak dapat digunakan untuk membebankan kewajiban pajak secara retroaktif.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini.