PT STL adalah perusahaan pengolahan karet (komoditas SIR 10 dan SIR 20) yang menjual sebagian besar produknya ke pihak afiliasi di dalam dan luar negeri. Penentuan harga mengacu pada harga pasar global yaitu SICOM. Selain itu, perusahaan juga meminjam dana dari afiliasi untuk modal kerja. Pokok sengketa utamanya terdiri dari dua koreksi yang dilakukan oleh DJP yakni Koreksi Peredaran Usaha sebesar 48,1 Miliar Rupiah dan Koreksi Biaya Usaha Lainnya sebesar 3,7 Miliar Rupiah.
Koreksi pertama yakni atas Peredaran Usaha sebesar 48,1 Miliar Rupiah terjadi karena adanya perbedaan penghitungan nilai kewajaran harga jual kepada pihak afiliasi yang dilakukan oleh DJP. DJP berpendapat bahwa metode CUP Eksternal dengan menggunakan data SICOM (Singapore Commodity Exchange) yang digunakan PT STL dalam dokumen transfer pricing untuk menentukan tingkat kewajaran harga jual kepada pihak afiliasi tidak tepat, karena harga SICOM merupakan harga “best price” dan hanya merupakan data harga acuan sehingga apabila data SICOM digunakan untuk analisis kesebandingan, diperlukan adanya penyesuaian mengenai terms and conditions yang akan mengurangi keandalan dan akurasi aspek kewajaran.
Menimbang bahwa DJP berpendapat PT STL seharusnya menggunakan data pembanding internal saja (metode CUP Internal) karena jika ada penyesuaian pun akan lebih mudah dilakukan sehingga tingkat kesebandingan lebih terbuka dan objektif.
PT STL berpendapat bahwa metode internal tidak dapat digunakan karena beberapa faktor diantaranya, perbedaan tanggal kontrak, kualitas produk (SIR 10 vs SIR 20), jenis pelanggan (pihak afiliasi adalah penjual kembali, sementara pihak independen adalah pengguna akhir / produsen ban), ketentuan kontrak, jangka waktu pengiriman, jangka waktu pembayaran, risiko bisnis, dan dinamika pasar.
Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta dan uraian tersebut di atas, Majelis berpendapat bahwa ruang lingkup usaha PT STL bergerak di bidang manufaktur, pengolahan, dan penjualan karet remah, bahan campuran, dan technically specified rubber (TSR) dengan standar Indonesia adalah Standard Indonesian Rubber (SIR) yang terbagi dalam dua kelas yaitu SIR 10 dan SIR 20. Bahwa produk yang dijual PT STL adalah produk komoditas yang dalam penentukan harga penjualan baik lokal maupun ekspor dengan mengacu kepada harga karet global seperti SICOM dengan memperhatikan faktor-faktor komersial seperti keadaan ekonomi, volume penjualan, penjualan, dan hubungan dengan pengguna akhir.
Bahwa sebagian besar (lebih dari 90%) penjualan PT STL kepada pihak afiliasi adalah penjualan produk karet dengan kelas SIR 20 sehingga adalah rasional bagi PT STL untuk menggunakan data SICOM kelas SIR 20 sebagai data pembanding. Sehingga pendapat DJP yang menyatakan seluruh penjualan kepada afiliasi di luar negeri adalah produk karet dengan kelas SIR 10 diragukan kebenarannya karena DJP tidak menyebutkan sumber data. Sementara PT STL dapat menunjukkan dokumen-dokumen valid yang menyatakan bahwa terdapat produk karet dengan kelas SIR 20 yang diekspor.
Bahwa PT STL dalam Transfer Pricing Document sudah memperhitungkan penyesuaian-penyesuaian terhadap faktor-faktor komersial yang mempengaruhi harga jual dalam perbandingan kewajaran harga CUP eksternal;
Bahwa DJP dalam menghitung perbandingan kewajaran harga CUP internal tidak memperhatikan perbedaan karakteristik pelanggan di luar negeri dengan pelanggan di dalam dalam negeri sehingga tidak melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam perhitungan perbandingan kewajaran harga; bahwa pendapat dan koreksi yang dilakukan DJP tidak didasarkan bukti-bukti yang kuat dan sesuai dengan fakta.
Menimbang, bahwa berdasarkan pendapat di atas, Majelis berkesimpulan untuk mengabulkan seluruhnya banding PT STL sebesar 48,1 Miliar Rupiah dan membatalkan koreksi DJP;
Sengketa kedua dalam putusan ini berpusat pada koreksi Biaya Bunga sebesar 3,7 Miliar Rupiah. Koreksi ini muncul dari perbedaan pandangan antara DJP dan PT STL mengenai kewajaran tingkat suku bunga pinjaman yang diterima PT STL dari pihak afiliasinya.
DJP awalnya mendasarkan koreksi biaya bunga pada asumsi bahwa PT STL memiliki kelebihan dana pada tahun 2017 dari pinjaman bank, sehingga menurut DJP pinjaman dari afiliasi di tahun 2020 dinilai tidak diperlukan. Namun, Majelis dengan tegas menolak argumentasi ini, berpendapat bahwa dasar koreksi DJP hanya bersandar pada asumsi dan tidak merefleksikan kondisi finansial aktual PT STL pada Tahun Pajak 2020.
Dalam penghitungan ulang kewajaran (arm's length principle), DJP membandingkan tingkat bunga pinjaman afiliasi dengan tarif bunga rata-rata bank asing dan campuran dalam bentuk valuta asing USD, untuk modal kerja saja dengan periode Januari hingga September 2020. Di sisi lain, PT STL dalam Transfer Pricing Document (TP Doc.) menggunakan rata-rata suku bunga untuk modal kerja dan investasi, dengan periode Januari hingga Desember 2020.
Majelis menemukan dua kelemahan fundamental dalam pendekatan DJP. (1) Periode Pembandingan yang Tidak Tepat, menurut Majelis, Pinjaman afiliasi pada hakikatnya adalah pinjaman untuk satu tahun. Oleh karena itu, membatasi periode pembandingan hanya sampai September 2020 dianggap tidak akurat dan tidak merepresentasikan tingkat bunga pinjaman untuk seluruh tahun pajak, (2) Tujuan Pinjaman yang Tidak Dipertimbangkan, DJP menggunakan pembanding tingkat suku bunga modal kerja saja. Padahal, pinjaman afiliasi tersebut ditujukan untuk mendukung modal kerja dan perluasan usaha. Majelis menilai penggunaan pembanding yang terlalu sempit oleh DJP tetap mengurangi keandalan perhitungannya.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, Majelis berkesimpulan bahwa koreksi dan pendapat DJP tidak didasarkan pada bukti-bukti yang kuat, berkaitan, dan sesuai dengan fakta. PT STL dianggap telah berhasil membuktikan kewajaran tingkat bunga pinjaman kepada pihak afiliasi melalui Transfer Pricing Document-nya. Oleh karena itu, Majelis memutuskan untuk mengabulkan seluruhnya banding PT STL dan membatalkan koreksi biaya bunga sebesar 3,7 Miliar Rupiah.
Kasus ini memberikan dua pelajaran penting bagi Wajib Pajak, khususnya yang memiliki transaksi afiliasi (1) Untuk perusahaan berbasis komoditas, penggunaan benchmark harga global seperti SICOM sangat wajar dalam metode CUP eksternal. Namun, penting memastikan kesesuaian jenis produk (grade/quality), penyesuaian terms & conditions yang relevan, dokumentasi pendukung yang kuat sebagai bukti kesebandingan, karena jika tidak, DJP berpeluang mempertanyakan keandalannya. (2) Justifikasi Ekonomi atas Pinjaman Afiliasi, dalam menentukan kewajaran biaya bunga, substansi ekonomi wajib dapat ditunjukkan melalui kebutuhan pendanaan yang nyata, dan data pembanding sesuai periode dan tujuan pinjaman. Karena koreksi yang hanya berbasis asumsi, tanpa mempertimbangkan kondisi keuangan aktual WP, berpotensi lemah di tingkat pemeriksaan lanjutan maupun sengketa. Transfer Pricing Documentation yang lengkap, berbasis fakta aktual, dan analisis yang dapat dipertanggungjawabkan menjadi kunci utama keberhasilan pembelaan sengketa arm’s length.
Analisa Komprehensif dan Putusan lengkap atas Sengketa Ini Tersedia Disini