PT AAC, yang bersengketa atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPh Pasal 26 Masa Pajak Juni 2020, menghadapi tantangan berat dalam membuktikan haknya atas fasilitas tarif Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) secara tegas mengatur tarif pemotongan 20% atas penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) dari sumber di Indonesia, dan P3B hanya dapat diterapkan jika Wajib Pajak memenuhi persyaratan formal yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER), termasuk penyampaian Surat Keterangan Domisili (SKD) atau Certificate of Domicile. Putusan ini menjadi penekanan bahwa kelengkapan administrasi P3B adalah gerbang utama menuju tarif preferensial.
Inti konflik dalam sengketa ini berakar pada perbedaan interpretasi dan pembuktian atas dua hal: objek pemotongan dan hak tarif P3B. Direktur Jenderal Pajak (DJP) sebagai Terbanding, bersandar pada hasil pemeriksaan yang mengindikasikan adanya pembayaran oleh PT AAC kepada WPLN yang sejatinya merupakan imbalan jasa, royalti, atau bunga yang bersumber di Indonesia, sehingga wajib dipotong PPh Pasal 26. Argumen DJP diperkuat oleh dugaan kegagalan PT AAC dalam menyajikan bukti yang memadai untuk membantah sifat penghasilan tersebut sebagai objek pajak. DJP menolak penggunaan tarif P3B, sehingga memberlakukan tarif normal 20% dari penghasilan bruto.
PT AAC membantah dengan menyajikan bukti bahwa sebagian pembayaran merupakan reimbursement murni yang tidak memiliki unsur penghasilan WPLN atau mengklaim telah melampirkan SKD yang sah. Perbedaan mendasar dalam pengujian bukti ini menentukan nasib sengketa.
Majelis Hakim Pengadilan Pajak bertindak sebagai penengah dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Majelis mengabulkan sebagian permohonan banding PT AAC hanya pada pos-pos di mana PT AAC berhasil memenuhi beban pembuktian secara meyakinkan, baik dari sisi substansi (misalnya membuktikan bahwa itu adalah reimbursement) maupun dari sisi formal P3B (menunjukkan SKD yang valid sesuai PER-25/PJ/2018). Pada pos koreksi yang dipertahankan, kegagalan PT AAC terletak pada ketidakmampuan membuktikan status beneficial owner atau tidak terpenuhinya syarat formal SKD pada saat pembayaran atau pelaporan masa pajak terkait.
Implikasi dari putusan Kabul Sebagian ini sangat signifikan. Putusan ini menegaskan kembali bahwa kepatuhan PPh Pasal 26 adalah area risiko tinggi dalam international tax. Kesalahan dalam klasifikasi transaksi (objek atau non-objek) dan kelalaian dalam pemenuhan administrasi P3B (SKD) dapat berakibat fatal pada pengenaan tarif 20% yang jauh lebih tinggi. Pelajaran penting bagi perusahaan multinasional adalah perlunya proaktif dalam dokumentasi transfer pricing dan withholding tax, serta memastikan validitas formal dan substansial atas setiap transaksi lintas batas.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini.