Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-011706.99/2023/PP/M.XB Tahun 2025 menegaskan prinsip kehati-hatian dalam litigasi perpajakan, khususnya terkait sanksi administrasi berupa Denda Penagihan Pasal 27 ayat (5d) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Denda ini, yang merupakan konsekuensi finansial dari penolakan putusan banding, secara eksplisit dikecualikan dari ruang lingkup sanksi yang dapat dihapuskan melalui permohonan Wajib Pajak berdasarkan Pasal 4 huruf b Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013. Implikasi hukum ini menutup peluang Wajib Pajak untuk menggunakan jalur administratif dalam mitigasi risiko denda yang timbul setelah proses banding, menjadikannya titik kritis dalam manajemen sengketa.
Inti konflik dalam kasus ini berpusat pada hierarki peraturan perundang-undangan. DJP menolak permohonan penghapusan sanksi denda penagihan Wajib Pajak (Penggugat) dengan dasar yang kuat pada PMK 8/PMK.03/2013 yang mengecualikan denda penagihan dari objek penghapusan sanksi administrasi. Di sisi lain, Wajib Pajak berargumen bahwa pengecualian yang diatur dalam PMK (peraturan di bawah UU) ini bertentangan dengan hak yang diberikan secara umum dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP (peraturan di atasnya). Penggugat berpegang teguh pada prinsip Lex superior derogate legi inferiori, di mana peraturan yang lebih tinggi harus mendominasi. Sanksi denda penagihan ini sendiri timbul karena adanya penundaan pembayaran pajak yang terutang akibat proses Banding yang kemudian ditolak.
Dalam pandangannya, Majelis menolak dalil Wajib Pajak dan sependapat dengan DJP. Majelis Hakim menginterpretasikan frasa "dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi... sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan" dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP bukan sebagai hak mutlak, melainkan sebagai amanat kepada Menteri Keuangan untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaannya. Oleh karena itu, PMK Nomor 8/PMK.03/2013 dianggap sebagai peraturan pelaksana yang sah dan tidak melanggar UU KUP. Keputusan DJP untuk menolak permohonan penghapusan sanksi administrasi dinilai sudah benar dan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.
Analisis dan dampak dari putusan ini memberikan kepastian hukum yang penting bagi Wajib Pajak yang sedang atau akan menempuh jalur litigasi. Putusan ini menggarisbawahi bahwa denda penagihan Pasal 27 ayat (5d) UU KUP bukan sanksi biasa, melainkan kompensasi atas penundaan hak negara. Dengan ditolaknya gugatan ini, Wajib Pajak diwajibkan untuk meningkatkan analisis risiko secara finansial sebelum memutuskan untuk mengajukan Banding atau Gugatan, terutama karena denda ini bersifat eksklusif dan tidak dapat dimitigasi melalui permohonan penghapusan sanksi. Pembayaran pokok pajak sebelum mengajukan banding menjadi satu-satunya cara efektif untuk menghindari sanksi ini jika putusan akhir ternyata menolak Wajib Pajak.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini