Ringkasan Eksekutif:
Regulasi transfer pricing, terutama dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 172 Tahun 2023, seringkali terasa sangat kompleks bagi pemilik bisnis dan para profesional keuangan. Aturan yang tebal dan bahasa teknis dapat membuat siapa pun merasa kewalahan.
Namun, di luar aturan-aturan yang sudah jelas, terdapat beberapa prinsip krusial yang sering terlewatkan namun memiliki dampak signifikan terhadap kepatuhan pajak Perusahaan. Memahami nuansa ini adalah kunci untuk menghindari risiko koreksi pajak yang besar.
Artikel ini akan menyaring kompleksitas tersebut dan menyajikan empat fakta paling mengejutkan dan berdampak dari aturan transfer pricing Indonesia ke dalam daftar yang ringkas dan mudah dipahami.
Banyak yang mengira bahwa Perusahaan bisa bebas memilih metode penentuan harga transfer (TP Method) yang datanya paling mudah didapat. Kenyataannya, PMK 172 menetapkan sebuah hierarki atau urutan prioritas yang ketat.
Secara sederhana, metode yang paling langsung membandingkan harga atau transaksi, seperti Comparable Uncontrolled Price (CUP) dan Comparable Uncontrolled Transaction (CUT), diberikan prioritas tertinggi. Selanjutnya, metode yang berbasis laba kotor seperti Resale Price Method (RPM) dan Cost Plus Method (CPM) lebih diutamakan daripada metode berbasis laba seperti Profit Split Method (PSM) dan Transactional Net Margin Method (TNMM).
Intinya adalah Perusahaan tidak bisa langsung menggunakan TNMM hanya karena dianggap lebih mudah atau datanya lebih tersedia. Perusahaan harus terlebih dahulu membuktikan dan mendokumentasikan mengapa metode-metode dengan prioritas lebih tinggi (seperti CUP, CUT, RPM, atau CPM) tidak dapat diterapkan atau tidak memiliki tingkat keandalan yang setara.
Aturan ini ditegaskan dalam regulasi:
Jika Metode CUP atau CUT dan metode yang lain dapat digunakan serta memiliki keandalan yang setara, maka Metode CUP atau CUT lebih diutamakan daripada metode yang lain.
Hierarki ini memaksa Perusahaan untuk mendasarkan analisis harganya pada bukti pasar yang paling langsung dan relevan, bukan sekadar metrik profitabilitas yang lebih luas. Hal ini membuat analisis menjadi lebih kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti tim keuangan harus proaktif mencari dan menguji bukti transaksi sebanding (CUP/CUT) sebelum mempertimbangkan analisis berbasis laba, sebuah pergeseran dari "mencari data yang mudah" menjadi "mencari bukti yang paling akurat."
Saat melakukan analisis transfer pricing, Perusahaan seringkali langsung mencari data pembanding dari perusahaan eksternal yang sejenis. Namun, ada aturan mengejutkan yang sering terabaikan: pembanding terbaik mungkin sudah ada di dalam laporan keuangan Perusahaan sendiri.
Ini disebut "Pembanding Internal", yaitu transaksi yang dilakukan perusahaan Perusahaan dengan pihak ketiga yang independen. Peraturan menegaskan bahwa jika tersedia pembanding internal yang Perusahaan, maka pembanding tersebut wajib diprioritaskan penggunaannya daripada pembanding eksternal.
Prinsip utama ini dinyatakan dengan sangat jelas:
Pembanding internal harus dipilih dan digunakan sebagai pembanding dalam kasus di mana tersedia pembanding internal dan pembanding eksternal dengan tingkat kesebandingan dan kePerusahaanlan yang sama.
Alasan di balik aturan ini sangat logis. Pembanding internal dianggap lebih superior jika tingkat kesebandingannya setara, karena transaksi tersebut terjadi di bawah kondisi bisnis dan ekonomi yang sama persis dengan transaksi afiliasi yang sedang diuji. Ini menghilangkan banyak variabel kompleks (seperti perbedaan pasar, strategi bisnis, atau efisiensi operasional) yang seringkali memerlukan penyesuaian rumit jika menggunakan pembanding eksternal.
Kewajiban untuk menyusun Dokumentasi Penentuan Harga Transfer (DPT atau TP Doc) seringkali dikaitkan dengan ukuran perusahaan, khususnya total peredaran bruto tahunan di atas Rp50 Miliar. Meskipun benar, ini bukan satu-satunya pemicu. Ada dua pemicu lain, yang didasarkan pada data tahun pajak sebelumnya, yang seringkali mengejutkan banyak bisnis:
Dampaknya sangat besar. Banyak usaha skala kecil hingga menengah mungkin tanpa sadar telah melanggar kewajiban ini karena mereka hanya berfokus pada total pendapatan tahunan dan tidak menyadari adanya pemicu-pemicu spesifik berbasis transaksi ini.
PMK 172 menekankan bahwa transfer pricing bukanlah sekadar masalah akuntansi, melainkan pembuktian substansi ekonomi dari sebuah transaksi afiliasi. Salah satu manifestasi paling jelas dari prinsip ini adalah kewajiban menyajikan laporan keuangan tersegmentasi.
Kewajiban ini terutama berlaku jika Perusahaan memiliki lebih dari satu kegiatan usaha dengan karakterisasi yang berbeda (misalnya, menjalankan segmen manufaktur sekaligus segmen distribusi). Dalam kasus ini, Perusahaan wajib "membedah" laporan laba rugi Perusahaan. Perusahaan harus memisahkan setiap pos keuangan (Penjualan, HPP, Biaya Operasi, dll.) ke dalam kolom Transaksi Afiliasi dan Transaksi Independen.
Kewajiban segmentasi ini bukanlah beban administratif semata; ini adalah fondasi data yang mutlak diperlukan untuk melakukan Analisis Fungsi, Aset, dan Risiko (FAR) yang kredibel. Tanpa pemisahan yang akurat antara transaksi afiliasi dan independen, setiap klaim mengenai penciptaan nilai dalam Analisis FAR akan runtuh karena tidak didukung oleh data keuangan yang solid. Analisis FAR inilah yang akan menentukan di mana penciptaan nilai (value creation) sebenarnya terjadi. Bahkan, analisis ini mempertimbangkan aset non-keuangan seperti "akses dan tingkat penguasaan pasar di Indonesia" sebagai bagian dari evaluasi.
Substansi di Atas Formalitas
Kepatuhan terhadap aturan transfer pricing modern di bawah PMK 172 adalah tentang kemampuan mendemonstrasikan substansi ekonomi yang nyata, bukan sekadar mencentang daftar periksa kepatuhan formalitas. Regulasi ini mengandung berbagai nuansa—mulai dari hierarki metode yang kaku hingga prioritas pembanding internal—yang menuntut perhatian mendalam terhadap detail.
Pada akhirnya, yang terpenting adalah mengajukan satu pertanyaan mendasar pada diri sendiri: "Apakah dokumentasi transfer pricing Perusahaan saat ini sudah benar-benar mencerminkan realitas ekonomi dan penciptaan nilai dalam bisnis Perusahaan, atau hanya sekadar pemenuhan kepatuhan formalitas?"
Daftar Referensi
Indonesia. Menteri Keuangan. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 172 Tahun 2023 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa. Jakarta: 2023.