Dinamika kali ini mencerminkan adanya pengetatan pengawasan oleh otoritas fiskal melalui kolaborasi data (DJP-PPATK) dan peringatan terhadap wajib pajak. Di saat yang sama, pemerintah bersikap fleksibel (penundaan pajak e-commerce) dan responsif terhadap kebutuhan sektor riil (permintaan perpanjangan hapus tagih utang UMKM). Bagi pelaku usaha, peningkatan kepatuhan pajak adalah keharusan, sementara isu pajak pesangon akan terus menjadi barometer keadilan kebijakan fiskal di mata publik dan hukum.
Memasuki awal Oktober 2025, perhatian publik tertuju pada tiga isu utama yang berpengaruh terhadap penerimaan negara dan keberlangsungan iklim usaha di Indonesia. Ketiganya mencakup tantangan pemerintah dalam memperkuat pemungutan pajak sektor ekonomi digital, perumusan kebijakan cukai yang lebih adaptif dan berpihak pada pelaku industri berskala kecil, serta meningkatnya proyeksi pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Pembahasan berikut mengulas dinamika kebijakan fiskal yang tengah dijalankan pemerintah beserta implikasinya terhadap perekonomian nasional.
Pemerintah Indonesia menghadapi dilema besar antara mengoptimalkan penerimaan negara dan menyeimbangkan keadilan bagi industri domestik. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkapkan bahwa pemungutan pajak digital di Indonesia masih menciptakan ketidakadilan, terutama bagi industri lokal yang taat aturan. Lebih lanjut, Indonesia menghadapi ancaman retaliasi dagang dari Amerika Serikat (AS) jika pemerintah memaksakan pemungutan Pajak Google hingga Netflix secara sepihak, sehingga ancaman ini menjadi hambatan signifikan bagi pemerintah untuk mengambil langkah tegas dalam mengamankan hak pemajakan atas transaksi digital lintas negara.
Di sisi lain, pemerintah secara proaktif menyiapkan kebijakan fiskal yang berpihak pada industri kecil dan mengelola arus kas negara. Pemerintah tengah menyiapkan skema cukai ringan yang ditujukan bagi industri tembakau kecil, bertujuan memberikan keberpihakan fiskal kepada pelaku UMKM sekaligus menjadi upaya preventif untuk menarik produsen rokok ilegal masuk ke jalur kepatuhan resmi. Sementara itu, restitusi pajak (pengembalian kelebihan pembayaran pajak) diprediksi akan menembus angka Rp456 triliun hingga akhir tahun 2025; proyeksi nilai yang besar ini menuntut Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mempersiapkan likuiditas kas negara secara memadai, mencerminkan tingginya kelebihan pembayaran oleh Wajib Pajak (WP) dari sektor tertentu.
Isu perpajakan digital telah menjadi dilema besar; Kemenperin merasa industri lokal terbebani sementara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tertahan oleh ancaman retaliasi AS. Keadaan ini mendesak pemerintah untuk segera menemukan titik temu diplomasi dan regulasi yang efektif tanpa memicu sanksi dagang. Di sisi lain, skema cukai ringan yang disiapkan pemerintah merupakan insentif positif yang akan melindungi industri tembakau kecil dari gulung tikar dan memperluas basis kepatuhan cukai. Terakhir, besarnya proyeksi restitusi pajak menunjukkan adanya aktivitas ekspor yang kuat dari sektor-sektor tertentu yang berhak mendapatkan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang secara tidak langsung mengindikasikan bahwa perputaran likuiditas di pasar akan meningkat seiring cairnya dana restitusi tersebut.
Dinamika kebijakan fiskal di Indonesia terus menunjukkan kompleksitas yang tinggi, antara kebutuhan mengoptimalkan penerimaan negara dan keharusan menjaga iklim usaha domestik. Pemerintah harus menavigasi ancaman eksternal dan tuntutan keadilan domestik dalam perpajakan digital, sambil memastikan kebijakan seperti skema cukai ringan dan manajemen restitusi pajak dapat terlaksana secara tepat sasaran. Pemahaman terhadap interaksi antara regulasi fiskal dan diplomasi internasional ini menjadi kunci bagi pelaku bisnis untuk merencanakan strategi kepatuhan dan investasi mereka di masa mendatang.