Pembetulan Pajak
Pembetulan pajak merupakan hak Wajib Pajak untuk melakukan perbaikan Surat Pemberitahuan (SPT) pajak karena adanya kesalahan atau ketidaklengkapan data guna memastikan apakah data pajak yang dilaporkan sudah benar dan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Adapun kesalahan yang dimaksud, dapat berupa:
Adapun yang menjadi objek Pembetulan, adalah:
Terhadap surat-surat di atas, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan pembetulan yang ketentuannya diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 (UU KUP) sebagaimana yang telah diperbarui dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 (UU HPP). Hal ini dimaksudkan untuk memberikan hak kepada Wajib Pajak untuk memperbaiki SPT yang sudah dilaporkan.
1. Pembetulan SPT
Wajib Pajak (dengan kemauannya sendiri) dapat membetulkan SPT yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis selama Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan dan dilakukan 2 tahun sebelum daluwarsa penetapan pajak untuk pembetulan SPT yang menyatakan rugi atau lebih bayar (Pasal 8 ayat (1) dan (1a) UU HPP).
Namun, apabila hal itu mengakibatkan utang pajak dalam SPT Tahunan atau SPT Masa menjadi lebih besar, maka Wajib Pajak akan dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan (dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 bulan). Adapun tarif bunga yang dimaksud berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi dan dihitung berdasarkan rumus: (suku bunga acuan + 5%) $\div$ 12; (Pasal 8 ayat (2), (2a), dan (2b) UU HPP).
2. Pengakuan Kesalahan oleh Wajib Pajak
Selain itu, Wajib Pajak juga dapat mengakui kesalahan pajak mereka secara sukarela dengan melakukan pengungkapan ketidakbenaran setelah DJP melakukan tindakan pemeriksaan. Langkah ini dapat diambil apabila Wajib Pajak:
Meskipun Wajib Pajak tetap akan dikenai sanksi denda yang jumlahnya 2 kali lipat dari jumlah pajaknya, namun setidaknya dengan melakukan ini Wajib Pajak dapat terhindar dari proses hukum yang lebih serius (Pasal 8 ayat (3) dan (3a) UU HPP).
3. Pengungkapan Kesalahan Selama Pemeriksaan Berjalan
Wajib Pajak juga dapat mengakui kesalahan pengisian SPT saat proses pemeriksaan pajak berlangsung. Adapun beberapa ketentuan yang berlaku, meliputi:
yang dikenakan paling lama 24 bulan (Pasal 8 Ayat (4), (5), dan (5a) UU HPP).
4. Pembetulan SPT Akibat Perubahan Data Tahun Sebelumnya
Hal ini dilakukan apabila Wajib Pajak menerima keputusan pajak dari tahun-tahun sebelumnya yang memuat perbedaan jumlah kerugian pajak (rugi fiskal) dari yang dilaporkan oleh Wajib Pajak. Pembetulan ini harus dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan setelah diterimanya surat atau putusan tersebut, dengan syarat DJP belum melakukan tindakan pemeriksaan (Pasal 8 Ayat (6) UU HPP).
Keberatan Pajak
Keberatan pajak adalah upaya hukum pertama yang bisa dilakukan Wajib Pajak jika merasa ada ketidaksesuaian atau ketidakadilan dalam penetapan pajak. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada DJP untuk melakukan peninjauan ulang terhadap surat ketetapan pajak (SKP) atau pemotongan/pemungutan pajak yang diterimanya (Pasal 25 Ayat (1) UU KUP).
1. Objek Keberatan
Selanjutnya, objek yang dapat diajukan keberatan diantaranya adalah:
Untuk mengajukan keberatan, terdapat beberapa syarat dan prosedur yang harus dipenuhi Wajib Pajak, yaitu:
Perlu dicatat, apabila Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan di atas, maka surat keberatan yang diajukan tidak akan dipertimbangkan (Pasal 25 Ayat (2), (3), (3a), dan (4) UU HPP).
2. Proses Penyelesaian Keberatan
Setelah keberatan yang diajukan diterima, maka DJP akan melakukan penelitian dan memberikan keputusan dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima. Apabila dalam 12 bulan DJP tidak memberikan keputusan, maka keberatan Wajib Pajak dianggap dikabulkan. Sebelum memberikan keputusan, DJP dapat meminta keterangan atau data tambahan dari Wajib Pajak (Pasal 26 UU KUP).
Adapun keputusan yang dimaksud dapat berupa:
Apabila permohonan keberatan dikabulkan, maka Wajib Pajak akan menerima pengembalian sanksi administrasi (denda atau bunga) yang telah dibayar sebelumnya. Selain itu, apabila keberatan yang dikabulkan menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, maka DJP wajib mengembalikan kelebihan tersebut ditambah imbalan bunga sebesar 2% per bulan untuk paling lama 24 bulan jika pengembaliannya terlambat (Pasal 27a UU KUP).
Adapun pengembalian yang dimaksud dihitung sejak:
Sebaliknya, jika keberatan ditolak atau bahkan menyebabkan jumlah pajak yang terutang bertambah, maka Wajib Pajak dapat melanjutkan upaya hukum dengan mengajukan banding ke Pengadilan Pajak.
3. Sanksi Administrasi terkait Pengajuan Keberatan
Apabila keberatan yang diajukan ditolak atau dikabulkan sebagian, maka Wajib Pajak akan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 30% dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelumnya (Pasal 25 ayat (9) UU HPP).
Jumlah pajak yang telah dibayar sebelum pengajuan keberatan meliputi pembayaran atas jumlah yang disetujui maupun yang tidak disetujui dalam PAHP. Sanksi administrasi ini juga dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam hal Surat Keputusan Keberatan:
Namun, denda tersebut tidak akan dikenakan apabila:
Pengurangan, Penghapusan, dan Pembatalan Sanksi Administratif atau SKP
DJP dapat mengurangi atau menghapuskan sanksi administratif (bunga, denda, atau kenaikan yang terutang) serta mengurangi atau membatalkan SKP yang tidak benar apabila sanksi tersebut dikenakan karena adanya kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya. Selain itu, ketentuan ini juga dapat diterapkan akibat ketidaktelitian petugas pajak atau penolakan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak hanya karena tidak memenuhi persyaratan formal (terlambat mengajukan surat) meski persyaratan materialnya terpenuhi (Pasal 36 ayat (1) huruf a dan b UU KUP).
Lebih lanjut, DJP juga dapat membatalkan hasil pemeriksaan atau surat ketetapan pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan atau verifikasi yang dilaksanakan tanpa:
Ketentuan ini dimaksudkan untuk meninjau kembali sanksi yang dikenakan kepada Wajib Pajak, terutama jika ada alasan kuat yang mana bukan merupakan kesalahan yang disengaja oleh Wajib Pajak. Ketentuan ini guna memastikan proses pemeriksaan dilakukan secara prosedural dan transparan.