Batas antara transaksi pengadaan barang dan pembelian jasa seringkali menjadi area abu-abu dalam perpajakan, terutama ketika barang tersebut diproduksi khusus (custom) sesuai pesanan. Isu inilah yang menjerat PT PL dalam sengketa PPh Pasal 23, di mana DJP melakukan koreksi signifikan sebesar Rp3.730.521.000,00 atas transaksi pengadaan sticker label pelumas. Kasus ini menjadi studi yang sangat relevan bagi industri manufaktur yang bergantung pada komponen atau kemasan spesifik dari pemasok eksternal.
Konflik utama dalam sengketa ini adalah perbedaan karakterisasi transaksi. DJP berargumen bahwa karena sticker tersebut dibuat berdasarkan desain dan spesifikasi teknis yang diserahkan oleh PT PL, maka di dalamnya terkandung unsur "jasa percetakan" yang dominan. Mengacu pada PMK 141/PMK.03/2015, jasa percetakan merupakan objek PPh Pasal 23. Sebaliknya, PT PL bersikukuh bahwa transaksi tersebut adalah murni pembelian barang jadi yang berfungsi sebagai material produksi. Menurut mereka, proses pencetakan adalah bagian yang tak terpisahkan dari proses manufaktur barang tersebut, bukan sebuah jasa yang dibeli secara terpisah.
Majelis Hakim pada akhirnya sependapat dengan argumen DJP. Titik penentu kekalahan PT PL bukan hanya pada karakterisasi transaksi sebagai jasa, tetapi lebih fatal lagi, pada kegagalan administratif. Hakim menemukan bahwa PT PL tidak dapat membuktikan adanya pemisahan nilai antara komponen material dan komponen jasa dalam kontrak maupun faktur tagihan. Sesuai dengan ketentuan dalam PMK 141, jika tidak terdapat bukti pemisahan, maka seluruh nilai pembayaran kepada penyedia jasa dianggap sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh Pasal 23.
Putusan ini mengirimkan pesan yang sangat jelas mengenai risiko perpajakan dalam kontrak pengadaan hibrida. Kegagalan melakukan pemisahan nilai (debundling) antara komponen barang dan jasa dalam dokumentasi adalah sebuah kelalaian administratif yang berakibat fatal, karena membuka pintu bagi otoritas pajak untuk mengenakan PPh Pasal 23 atas keseluruhan nilai transaksi. Bagi Wajib Pajak, pelajaran dari kasus ini adalah keharusan untuk proaktif dalam merancang kontrak dan meminta vendor untuk merinci dengan jelas setiap komponen biaya. Langkah sederhana ini dapat menjadi benteng pertahanan yang efektif terhadap koreksi pajak yang merugikan.