Putusan Pengadilan Pajak atas gugatan PT FI menegaskan superioritas Undang-Undang PPN atas kontrak internal. Majelis Hakim menolak gugatan atas sanksi denda Pasal 14 ayat (4) KUP, menyatakan saat terutang PPN terjadi saat penyerahan barang ke kurir (PP 1/2012), bukan saat Berita Acara Pemeriksaan dan Penerimaan Barang (BAPPB) terbit.
Kasus ini bermula dari Gugatan PT FI atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak yang menolak permohonan pembatalan Surat Tagihan Pajak (STP) PPN Masa Pajak April 2016. STP tersebut menagihkan sanksi denda sebesar Rp 98,9 juta akibat penerbitan Faktur Pajak yang dianggap tidak tepat waktu.
Inti konflik sengketa adalah perbedaan interpretasi mengenai "saat terutangnya PPN". Tergugat (DJP) berpendapat bahwa PPN terutang dan Faktur Pajak wajib diterbitkan pada saat penyerahan BKP bergerak, yaitu ketika barang diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan. Dasar hukumnya adalah Pasal 17 ayat (3) huruf a angka 3 PP Nomor 1 Tahun 2012. Tergugat (DJP) menegaskan bahwa sales contract (perjanjian perdata) tidak dapat mengesampingkan ketentuan UU Pajak (lex generalis).
Sebaliknya, Penggugat (PT FI) berargumen bahwa penerbitan Faktur Pajak tidak terlambat. Sesuai sales contract dengan PT Telkom Akses, hak untuk menagih baru timbul setelah BAPPB ditandatangani oleh pembeli. Penggugat mendasarkan tindakannya pada Pasal 17 ayat (3) huruf a angka 4 PP Nomor 1 Tahun 2012, yang mengaitkan saat penyerahan dengan "saat harga atas penyerahan BKP diakui sebagai piutang atau penghasilan" sesuai prinsip akuntansi.
Majelis Hakim menolak seluruh dalil Penggugat. Majelis membenarkan Tergugat bahwa PPN terutang pada saat penyerahan barang kepada kurir (sesuai angka 3 PP 1/2012), bukan saat pengakuan piutang (angka 4). Majelis menegaskan bahwa perjanjian internal (BAPPB) tidak dapat menunda kewajiban perpajakan yang diatur dalam undang-undang. Karena Penggugat terbukti baru menerbitkan Faktur Pajak setelah BAPPB terbit (jauh setelah barang dikirim), sanksi denda keterlambatan penerbitan Faktur Pajak dinilai sah dan berdasar hukum.
Putusan ini memiliki implikasi signifikan bagi PT FI. Ditegaskan bahwa PT FI tidak dapat menggunakan administrasi internal atau kesepakatan komersial (BAPPB) sebagai alasan untuk menunda penerbitan Faktur Pajak. PT FI harus memisahkan (decouple) antara proses penerbitan invoice komersial (untuk penagihan) dengan penerbitan Faktur Pajak (untuk kewajiban PPN), dimana Faktur Pajak harus terbit pada momen yang paling dahulu terjadi sesuai UU PPN, yaitu tanggal Surat Jalan/DO.
Kasus PT FI ini menjadi konfirmasi penting bahwa kepatuhan terhadap timing penerbitan Faktur Pajak (saat penyerahan fisik ke kurir) adalah absolut dan tidak dapat dinegosiasikan melalui kontrak komersial.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini