Sanksi Administrasi
1. Tujuan Sanksi Administrasi Pajak
Dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sanksi administrasi bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Sanksi ini merupakan konsekuensi dari pelanggaran yang bersifat administratif (bukan tindak pidana) dan umumnya berupa pembayaran sejumlah uang ke kas negara.
2. Jenis-Jenis Sanksi Administrasi
Secara garis besar, sanksi administrasi dalam UU KUP dibagi menjadi tiga jenis, yaitu sanksi administrasi berupa Denda, Bunga, dan Kenaikan. Adapun ketentuannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (UU KUP) serta Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 (UU HPP).
Salah satu alasan sanksi denda dapat dikenakan, yakni apabila Wajib Pajak terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) sesuai jangka waktu yang ditentukan (atau batas waktu perpanjangannya). Adapun denda yang dikenakan berdasarkan ketentuan Pasal 7 UU KUP, adalah sebesar:
Namun, sanksi-sanksi diatas tidak berlaku terhadap:
Selain itu, berdasarkan ketentuan terbaru dalam UU HPP, sanksi denda juga dapat dikenakan pada beberapa situasi berikut ini:
Selanjutnya, terdapat sanksi bunga yang dikenakan berdasarkan tarif per bulan (dihitung penuh satu bulan) atas kekurangan pembayaran pajak, yang diantaranya meliputi:
Lebih lanjut, sejak berlakunya UU HPP ditetapkan bahwa sanksi bunga yang dikenakan terhadap pembayaran pajak yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo tidak lagi bersifat tetap, melainkan bersifat dinamis. Untuk sanksi bunga ini, besaran tarifnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan dihitung berdasarkan rumus:
$$\frac{\text{Suku Bunga Acuan Bank Indonesia} + \text{Uplift Factor (persentase tambahan)}}{12 \text{ bulan}}$$
Perlu dicatat bahwa sanksi bunga dikenakan paling lama 24 bulan (yang dihitung penuh satu bulan). Adapun pelanggaran yang dikenakan sanksi bunga ini, meliputi:
Untuk pelanggaran ini, Uplift factor-nya sebesar 5%, sehingga tarif bunga yang dikenakan dihitung berdasarkan rumus: (suku bunga acuan+5%)÷12
Untuk pelanggaran ini, Uplift factor-nya sebesar 5%, sehingga tarif bunga yang dikenakan dihitung berdasarkan rumus: (suku bunga acuan+5%)÷12
Untuk pelanggaran ini, Uplift factor-nya sebesar 10%, sehingga tarif bunga yang dikenakan dihitung berdasarkan rumus: (suku bunga acuan+10%)÷12
Untuk pelanggaran ini, Uplift factor-nya sebesar 15%, sehingga tarif yang dikenakan dihitung berdasarkan rumus: (suku bunga acuan+15%)÷12
Untuk pelanggaran ini, Uplift factor-nya sebesar 20%, sehingga tarif bunga yang dikenakan dihitung berdasarkan rumus: (suku bunga acuan+20%)÷12
Terakhir, terdapat sanksi berupa kenaikan atas jumlah pajak yang harus dibayar. Sanksi administrasi ini dikenakan dalam beberapa situasi seperti:
Sanksi Pidana
Ketentuan mengenai sanksi pidana yang diatur dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dapat dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan tindak pidananya, yaitu atas:
1. Tindak Pidana karena Kealpaan (Kelalaian)
Sanksi ini dikenakan terhadap Wajib Pajak yang tidak sengaja (karena kealpaannya) melakukan pelanggaran pajak dengan tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT yang isinya tidak benar, sehingga menyebabkan kerugian negara. Apabila Wajib Pajak tersebut pernah melakukan pelanggaran yang serupa sebelumnya (sebagaimana yang diatur dalam Pasal 13A UU KUP), maka ia dikenakan sanksi:
2. Tindak Pidana karena Kesengajaan
Sanksi pidana ini diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dengan sengaja melakukan pelanggaran untuk menghindari pajak, seperti:
Atas pelanggaran-pelanggaran di atas, maka Wajib Pajak dapat dikenakan sanksi pidana penjara 6 bulan sampai 6 tahun, dan denda sebanyak 2 kali sampai 4 kali dari jumlah pajak terutang yang kurang dibayar (Pasal 39 ayat (1) UU KUP).
Apabila Wajib Pajak kembali melakukan tindak pidana perpajakan dalam kurun waktu kurang dari 1 tahun setelah menjalani sanksi tersebut, maka sanksi pidananya ditambahkan satu kali lipat menjadi dua kali lipat. Sanksi pidana yang lebih berat ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana di bidang perpajakan (Pasal 39 ayat (3) UU KUP).
Selanjutnya, untuk setiap orang yang melakukan percobaan tindak pidana penyalahgunaan NPWP/PKP atau menyampaikan SPT yang tidak benar dalam rangka restitusi/kompensasi pajak, maka dapat dikenakan sanksi pidana penjara 6 bulan sampai 2 tahun, dan denda sebanyak 2 kali sampai 4 kali jumlah restitusi yang dimohonkan (Pasal 39 ayat (3) UU KUP).
3. Penerbitan dan Penggunaan Bukti Perpajakan Tidak Sah
Bukti perpajakan seperti faktur pajak, bukti pemotongan pajak, dan bukti pemungutan pajak merupakan sarana untuk pengkreditan atau pengurangan pajak terutang. Setiap penyalahgunaan atas bukti-bukti perpajakan tersebut dapat mengakibatkan dampak negatif dalam keberhasilan pemungutan PPN dan PPh.
Adapun tindak pidana yang merupakan bentuk penyalahgunaan bukti-bukti perpajakan tersebut, diantaranya adalah:
Atas tindakan-tindakan tersebut, dapat dikenakan sanksi pidana berupa penjara 2 tahun sampai 6 tahun, serta denda sebanyak 2 kali sampai 6 kali jumlah pajak yang tercantum di dalam bukti perpajakan yang diterbitkan/digunakannya (Pasal 39A UU KUP).
4. Pidana terkait Rahasia Jabatan
Setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan (juga tenaga ahli yang ditunjuk DJP) dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan (Pasal 34 ayat (1) dan (2) UU KUP s.t.d.t.d UU HPP).
Adapun tindakan yang dimaksud, meliputi:
Meski demikian, ketentuan di atas dikecualikan untuk:
Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi ketentuan ini dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00. Sedangkan, Pejabat yang sengaja tidak memenuhi atau seseorang yang menyebabkan tidak terpenuhinya ketentuan ini, keduanya dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (Pasal 41 ayat (1) dan (2) UU KUP).
Perlu dicatat bahwa penuntutan terhadap tindak pidana ini hanya dapat dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiannya dilanggar. Karena sesuai dengan sifatnya yang menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau badan selaku Wajib Pajak, yang mana alam hukum pidana hal ini sering disebut dengan istilah delik aduan (Pasal 41 ayat (3) UU KUP).
5. Pidana terkait Pemberian Keterangan, Bukti atau Data
Dalam rangka melakukan pemeriksaan dan menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, DJP melalui permintaan tertulis dapat meminta Wajib Pajak untuk memberikan keterangan atau bukti dari:
Apabila permintaan di atas tidak dipenuhi, maka pihak yang bersangkutan dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (Pasal 41A UU KUP).
Pada dasarnya, setiap pihak (baik itu instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain) memiliki kewajiban untuk memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada DJP bila diminta. Apabila kewajiban tersebut tidak dipenuhi, maka pihak yang bersangkutan dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) (Pasal 41C ayat (1) UU KUP).
Sedangkan, bagi setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban tersebut, atau sengaja tidak memenuhi permintaan DJP dalam rangka menghimpun data dan informasi untuk kepentingan penerimaan negara, dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 bulan atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (Pasal 41C ayat (2) dan (3) UU KUP).
Selain itu, setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan tersebut sehingga menimbulkan kerugian kepada negara, dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00.
6. Pidana terkait Menghalangi Proses Penyidikan
Tindakan menghalangi atau mempersulit proses penyidikan dapat diartikan sebagai segala tindakan yang menghambat penyidik untuk melaksanakan tugasnya dalam mengungkapkan tindak pidana di bidang perpajakan. Salah satunya, yakni dengan menghalangi penyidik untuk melakukan penggeledahan, atau dengan menyembunyikan bahan bukti yang terkait dengan tindak pidana yang sedang diselidiki oleh penyidik.
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan tersebut, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp75.000.000,00 (Pasal 41B UU KUP).
7. Penyertaan Tindak Pidana Perpajakan
Ketentuan ini ditujukan kepada setiap pihak yang terkait dengan Wajib Pajak (wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain) yang turut serta melakukan tindak pidana bersama Wajib Pajak. Adapun yang dimaksud dengan “turut serta melakukan” adalah segala tindakan yang melibatkan kerja sama untuk melakukan tindak pidana tersebut, sekalipun perannya kecil dan terbatas. Tindakan kerja sama yang dimaksud, dapat berupa:
Sementara itu, tindak pidana yang dimaksud meliputi:
Atas tindakan pernyertaan ini, diancam dengan sanksi yang sama (sebagaimana yang telah disebutkan di atas) dengan Wajib Pajak berdasarkan tindak pidana yang dilakukan.