Sengketa pajak seringkali lahir dari perbedaan interpretasi atas praktik bisnis yang sudah lazim, sebagaimana tercermin dalam kasus yang dialami PT PL. Konteks sengketa ini berawal dari program insentif penjualan, di mana distributor yang berhasil mencapai target volume pembelian tertentu akan menerima tambahan diskon. Praktik yang wajar dalam dunia komersial ini dilihat dari kacamata yang berbeda oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), yang kemudian memicu koreksi PPh Pasal 23 senilai Rp35.802.958.467,00.
Inti konflik terletak pada karakterisasi diskon tersebut. DJP, berlandaskan PER-11/PJ/2015, menganggap diskon itu sebagai "penghargaan" atas "prestasi" distributor dalam mencapai target.
Dengan demikian, imbalan tersebut merupakan objek PPh Pasal 23 yang wajib dipotong oleh PT PL. Sebaliknya, PT PL mempertahankan argumen bahwa diskon tersebut murni merupakan potongan harga penjualan yang esensinya adalah elemen komersial. Mereka menegaskan bahwa hubungan dengan distributor adalah hubungan dagang, bukan pemberian jasa, dan praktik ini didukung oleh penegasan DJP sebelumnya dalam S-1045/PJ.313/2004 serta yurisprudensi pengadilan pajak yang membedakan diskon volume dari hadiah kena pajak.
Dalam resolusinya, Majelis Hakim secara tegas memihak Wajib Pajak. Pertimbangan hukumnya berfokus pada substansi ekonomi di balik transaksi tersebut. Majelis menyatakan bahwa skema diskon volume adalah strategi pemasaran yang lazim untuk mendorong penjualan, dan keputusan distributor untuk membeli dalam jumlah besar adalah pilihan bisnis, bukan sebuah "prestasi" dalam kegiatan kompetitif. Fakta bahwa diskon ini secara transparan diadministrasikan sebagai pengurang harga jual dalam faktur pajak menjadi bukti kuat yang mendukung argumen PT PL. Atas dasar pertimbangan tersebut, Majelis Hakim mengabulkan banding dan membatalkan koreksi DJP.
Putusan ini menjadi penegasan penting atas prinsip substansi mengalahkan bentuk (substance over form) dalam hukum pajak. Implikasinya, dunia usaha kini memiliki landasan hukum yang lebih kokoh untuk mempertahankan skema insentif penjualan dari risiko reklasifikasi sebagai objek PPh Pasal 23. Kasus ini menyoroti betapa krusialnya dokumentasi yang akurat. Selama diskon atau insentif volume secara konsisten dicatat dan dibuktikan sebagai elemen pengurang harga, baik dalam kontrak maupun faktur, posisinya sebagai instrumen komersial yang tidak terutang PPh Pasal 23 akan semakin kuat.