Studi kasus sengketa PPh Badan PT BTCI Tahun Pajak 2017 menyoroti kegagalan pembuktian substansi transaksi sebagai dasar koreksi transfer pricing. Majelis Hakim Pengadilan Pajak menolak seluruh banding PT BTCI atas koreksi Harga Pokok Penjualan (HPP) senilai Rp 46,04 miliar terkait biaya jasa intra-grup dari afiliasinya, BT Plc.
Sengketa ini berpusat pada koreksi fiskal atas biaya jasa yang dianggap tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU). PT BTCI berargumen kuat bahwa sebagai penyedia jasa berisiko terbatas (limited risk service provider), pihaknya sangat bergantung pada infrastruktur global dan know-how induk usahanya. PT BTCI mengklaim telah menyerahkan bukti komprehensif, termasuk Dokumen Penentuan Harga Transfer (TPD) Lokal dan Induk, Perjanjian Jasa Global (GSA), invoice, serta timesheet. Analisis benchmarking menggunakan TNMM yang menunjukkan NCPM 5,69% (di atas rentang wajar) diajukan sebagai bukti utama bahwa transaksi telah wajar.
DJP tidak membantah analisis benchmarking tersebut, namun memfokuskan koreksinya pada aspek yang lebih fundamental: kegagalan pembuktian eksistensi (keberadaan) jasa. DJP menilai bukti pendukung yang diserahkan sangat lemah. Invoice dianggap tidak rinci, sementara dokumen pendukung krusial seperti korespondensi email terbukti tidak relevan (berasal dari tahun 2012-2013 untuk sengketa tahun 2017). Karena PT BTCI gagal membuktikan bahwa jasa tersebut benar-benar terjadi, DJP menerapkan Pasal 3 ayat (3) PMK-213/2016, yang menyatakan PT BTCI dianggap tidak menerapkan PKKU.
Majelis Hakim dalam pertimbangannya mendukung penuh posisi DJP. Majelis menegaskan hierarki pembuktian dalam sengketa jasa intra-grup: uji eksistensi dan uji manfaat harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum melangkah ke uji kewajaran harga (TPD). Majelis bahkan menganalisis GSA dan menemukan kelemahan fatal; deskripsi jasa (Pasal 3 ayat 3) dinilai lebih bersifat shareholder activity, dan PT BTCI terbukti melanggar klausul perjanjiannya sendiri dalam Pasal 8 ayat 10 yang mensyaratkan adanya "permintaan tertulis" untuk setiap layanan. Bukti TPD dan benchmarking yang wajar dinilai hanya sebagai bukti pencatatan, bukan bukti riil pelaksanaan jasa.
Putusan ini memiliki implikasi signifikan, menegaskan bahwa kepemilikan TPD yang memenuhi PKKU tidak menggugurkan kewajiban Wajib Pajak untuk menyediakan bukti pendukung yang kontemporer, rinci, dan relevan atas eksistensi setiap jasa yang dibiayakan. Kegagalan pada uji eksistensi memberikan dasar hukum yang kuat bagi otoritas pajak untuk mengoreksi seluruh biaya jasa afiliasi, mengesampingkan hasil analisis benchmarking Wajib Pajak.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini