Bentuk Usaha Tetap (BUT)
1. Pengertian Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah sarana yang digunakan oleh orang pribadi atau badan dari luar negeri untuk menjalankan kegiatan usaha di Indonesia. Berdasarkan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh), BUT dapat dianggap sebagai bentuk kehadiran permanen (permanent establishment) dari subjek pajak luar negeri. Dengan kata lain, BUT adalah “perpanjangan tangan” dari entitas luar negeri yang memiliki aktivitas ekonomi di Indonesia. Negara mengenakan pajak terhadap penghasilan yang timbul melalui kehadiran tersebut agar terdapat kesetaraan perlakuan antara badan luar negeri dan badan dalam negeri.
2. Jenis dan Bentuk BUT
BUT memiliki berbagai bentuk, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik. Berdasarkan ketentuan undang-undang, BUT dapat berupa:
Tempat kedudukan manajemen
Cabang perusahaan
Kantor perwakilan
Gedung atau kantor
Pabrik atau bengkel
Gudang atau tempat penyimpanan barang
Ruangan untuk promosi dan penjualan
Pertambangan, penggalian, atau wilayah kerja migas
Kegiatan perikanan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan
Proyek konstruksi, instalasi, atau perakitan
Pemberian jasa oleh pegawai atau pihak lain yang berlangsung lebih dari 60 hari dalam 12 bulan
Agen atau perantara yang bertindak atas nama perusahaan luar negeri
Perusahaan asuransi luar negeri yang menerima premi dari Indonesia
Komputer, server, atau perangkat elektronik lain yang digunakan untuk penyelenggaraan transaksi digital di Indonesia.
3. Subjek Pajak Luar Negeri dan BUT
Subjek Pajak Luar Negeri terdiri dari dua kategori utama:
Subjek Pajak Luar Negeri BUT, yaitu badan luar negeri yang menjalankan kegiatan usaha di Indonesia melalui bentuk usaha tetap.
Subjek Pajak Luar Negeri Bukan BUT, yaitu badan luar negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia tanpa menjalankan kegiatan usaha di wilayah Indonesia.
4. Kriteria dan Penegasan BUT
Menurut PER-43/PJ/2011, tempat kedudukan manajemen suatu perusahaan dianggap sebagai BUT jika tempat tersebut menjalankan kegiatan operasional sehari-hari atau kegiatan strategis untuk mengendalikan usaha di Indonesia.
Apa itu Non-BUT?
Tidak semua Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) yang memperoleh penghasilan dari Indonesia memiliki bentuk usaha tetap (BUT). Entitas asing yang tidak mempunyai tempat usaha tetap di Indonesia, namun tetap menerima penghasilan dari sumber di Indonesia seperti dividen, bunga, royalti, atau jasa disebut non-BUT. Meski tidak memiliki kehadiran fisik di Indonesia, penghasilan mereka tetap dikenai pajak melalui mekanisme pemotongan (withholding tax) oleh pihak yang membayarkan penghasilan tersebut di Indonesia. Sistem ini memastikan bahwa setiap penghasilan yang bersumber dari dalam negeri tetap memberikan kontribusi pajak sesuai ketentuan.
Biaya yang Dapat Dikurangkan oleh BUT
Sebagai subjek pajak, Bentuk Usaha Tetap (BUT) memiliki hak untuk mengurangkan biaya-biaya tertentu dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak (PKP). Biaya yang diperkenankan antara lain:
Biaya operasional, seperti gaji, sewa, dan utilitas;
Penyusutan dan amortisasi atas aset;
Bunga pinjaman;
Pembayaran royalti dan premi asuransi;
Serta kerugian fiskal tahun-tahun sebelumnya.
Namun, perlu dicatat bahwa biaya yang dibebankan dari kantor pusat di luar negeri hanya dapat diakui apabila benar-benar memiliki hubungan langsung dengan kegiatan usaha BUT di Indonesia.
Rezim Perpajakan atas Bentuk Usaha Tetap (BUT) Bentuk Usaha Tetap (BUT) merupakan perpanjangan dari Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan kegiatan usaha di Indonesia. Dalam praktiknya, perlakuan pajak terhadap BUT hampir sama dengan Wajib Pajak badan dalam negeri, mencakup kewajiban PPh, withholding tax, dan PPN.
a. Pajak Penghasilan (PPh)
BUT dikenai PPh atas seluruh penghasilan dari kegiatan di Indonesia dengan tarif 22% dari laba kena pajak. Selain itu, laba setelah pajak yang dikirim ke kantor pusat di luar negeri dikenakan Branch Profit Tax (BPT) sebesar 20% atau sesuai tarif dalam P3B antara Indonesia dan negara domisili kantor pusat.
b. Pajak Pemotongan dan Pemungutan
Sebagai pemotong dan pemungut pajak, BUT wajib:
Memotong PPh Pasal 21 atas gaji karyawan,
Memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran kepada rekanan, serta
Memungut PPN atas penyerahan Barang atau Jasa Kena Pajak.
c. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
BUT yang menyerahkan Barang atau Jasa Kena Pajak wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan memiliki kewajiban untuk:
Menerbitkan faktur pajak,
Memungut dan menyetorkan PPN, serta
Melaporkan SPT Masa PPN setiap bulan.