Sengketa pajak seringkali menjadi cerminan dari kompleksitas interpretasi regulasi antara Wajib Pajak dan otoritas. Sebuah kasus menarik yang menyoroti pertentangan klasik antara pembuktian formal saat pemeriksaan dengan substansi ekonomi sebuah transaksi terjadi pada PT AI. Dalam kasus ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan koreksi peredaran usaha senilai Rp271,5 miliar dengan mereklasifikasi Settlement Discount dan Channel Rebate sebagai penghasilan kena pajak.
Analisis mendalam terhadap putusan ini memberikan wawasan berharga mengenai tantangan pembuktian transaksi komersial dan kekuatan argumentasi yang berfokus pada substansi untuk menghadapi sengketa perpajakan.
Inti konflik bermula dari perbedaan pandangan atas dua jenis insentif yang diberikan PT AI, sebuah perusahaan distributor produk komputer, kepada distributornya. Settlement Discount adalah potongan harga untuk pembayaran lebih cepat, sedangkan Channel Rebate adalah rabat terkait program promosi. Argumen DJP berpusat pada satu pilar: kegagalan pembuktian. Menurut DJP, PT AI tidak dapat menyediakan dokumen pendukung yang lengkap selama proses pemeriksaan untuk membuktikan esensi dan eksistensi skema diskon tersebut. Karena kurangnya bukti formal pada tahap itu, DJP berpegang pada definisi penghasilan yang luas dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh dan menganggapnya sebagai "tambahan kemampuan ekonomis". Sebaliknya, argumen PT AI berfokus pada substansi ekonomi transaksi. PT AI menegaskan bahwa kedua diskon tersebut adalah potongan harga yang lazim dan sah, didukung oleh bukti komprehensif seperti perjanjian kerja sama, contoh faktur komersial dan Faktur Pajak yang jelas mencantumkan potongan harga, serta bukti aliran dana yang sesuai.
Dalam resolusinya, Majelis Hakim memandang sengketa ini sebagai sengketa pembuktian. Setelah menelaah seluruh bukti yang diajukan PT AI di persidangan, Majelis Hakim menyatakan yakin atas eksistensi dan mekanisme dari kedua diskon tersebut. Majelis berpendapat bahwa karena diskon tersebut secara nyata mengurangi nilai tagihan dan kemampuan ekonomis yang diterima perusahaan, maka perlakuan yang benar adalah sebagai pengurang peredaran usaha, bukan penghasilan.
Dengan demikian, Majelis Hakim membatalkan seluruh koreksi DJP atas pos sengketa ini. Putusan ini menjadi penegasan penting atas prinsip substansi mengalahkan formalitas (substance over form), yang menunjukkan bahwa kebenaran material yang didukung bukti kuat di persidangan dapat mengesampingkan temuan yang didasarkan pada kekurangan dokumen pada tahap pemeriksaan awal.
Kesimpulannya, kasus PT AI ini menegaskan bahwa diskon dan rabat penjualan yang sah, nyata, dan dapat dibuktikan bukanlah merupakan objek PPh. Putusan ini memberikan pelajaran berharga bagi dunia usaha mengenai krusialnya dokumentasi yang rapi dan komprehensif. Pelajaran utamanya adalah pentingnya menerapkan kebijakan "dispute-ready documentation", yaitu mengarsipkan seluruh bukti pendukung transaksi secara real-time untuk mengantisipasi potensi sengketa dan untuk dapat selalu membuktikan substansi komersial dari setiap kebijakan yang diambil.