Putusan ini dengan tegas menggarisbawahi pentingnya prinsip pembuktian yang kuat dalam sengketa Pajak Pertambahan Nilai (PPN), khususnya terkait koreksi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atas penyerahan Aktiva Tetap. Kasus yang melibatkan PT SH ini berpusat pada koreksi DPP Penyerahan Aktiva Tetap senilai Rp3.216.901.474.
DJP menduga terdapat penjualan aset yang PPN-nya belum dipungut karena terdapat selisih nilai buku aset dalam Laporan Keuangan Audit yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh Wajib Pajak. PT SH di sisi lain, berargumen bahwa sebagian besar selisih nilai aset tersebut adalah akibat penghapusan (pemusnahan) karena rusak atau tua, bukan akibat penjualan. PT SH dalam persediaan menunjukan bukti berupa data excel mengenai rincian aktiva yang dihancurkan atau rusak dan proposal internal untuk melakukan penghapusan aset sehingga dalam persidangan PT SH dapat menunjukan bahwa aset yang benar-benar dijual sudah dilaporkan PPN-nya, dan tidak ada bukti arus kas atau arus barang yang mendukung koreksi atas penghapusan aset.
Dalam pemeriksaan dan keberatan, DJP mempertahankan koreksi tersebut karena Wajib Pajak tidak menyajikan Berita Acara Pemusnahan Aset yang dianggap valid. Namun, Majelis Hakim Pengadilan Pajak meninjau ulang pendekatan ini. Menurut Majelis, sesuai Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), beban pembuktian berada pada DJP untuk menunjukkan adanya penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang terutang PPN. Koreksi yang didasarkan oleh perhitungan selisih nilai buku aset tanpa adanya bukti riil berupa arus kas atau arus barang yang membuktikan adanya penjualan BKP adalah pendekatan yang tidak tepat dan spekulatif. Dengan demikian, pengadilan pajak mengabulkan seluruhnya banding pemohon banding.
Implikasi dari putusan ini sangat signifikan. Putusan ini menjadi preseden penting yang membatasi kewenangan Pemeriksa Pajak untuk melakukan koreksi PPN Keluaran hanya berdasarkan asumsi atau hasil rekonsiliasi yang tidak didukung bukti transaksi fisik. Wajib Pajak kini memiliki dasar hukum yang lebih kuat untuk menolak koreksi DPP PPN atas Aktiva Tetap, sepanjang dapat membuktikan bahwa selisih nilai aset disebabkan oleh penghapusan (bukan penjualan), melalui dokumentasi internal yang memadai. Putusan ini mengingatkan pentingnya dokumentasi internal, tetapi yang terpenting adalah koreksi pajak harus didasarkan pada bukti nyata, bukan interpretasi sepihak atas data akuntansi.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini.