Sengketa antara PT DU dan DJP berfokus pada koreksi rabat penjualan dan penyesuaian fiskal negatif. DJP melakukan koreksi atas peredaran usaha sebesar Rp6,93 miliar dan beban rabat sebesar Rp12,09 miliar dengan alasan pengakuannya tidak wajar dan tidak sesuai periode pembebanan. Namun, PT DU menyoroti bahwa koreksi atas rabat ini baru muncul pada tahap keberatan, bukan pada pemeriksaan, sehingga menunjukkan ketidakkonsistenan posisi DJP. Menurut PT DU, rabat merupakan bentuk insentif bisnis yang sah dan lazim, yang diakui dalam laporan keuangan audited serta telah dipotong PPh Pasal 23, sehingga seharusnya dapat dikurangkan secara fiskal.
PT DU juga menegaskan bahwa koreksi DJP berpotensi menimbulkan pembukuan ganda (double counting), karena rabat telah tercermin sebagai pengurang pendapatan di laporan laba rugi. Selain itu, perubahan dasar koreksi pada tahap keberatan dinilai melanggar asas kepastian hukum dan profesionalitas pemeriksa. Sebaliknya, DJP mempertahankan bahwa tidak terdapat dasar perjanjian dan perhitungan yang jelas, serta menilai rabat tersebut tidak dapat dibebankan pada Tahun Pajak 2020 karena berkaitan dengan transaksi periode April 2018–Maret 2019 (Tahun Pajak 2018) dan April 2019–Maret 2020 (Tahun Pajak 2019).
Majelis Hakim Pengadilan Pajak menilai bahwa rabat memang merupakan biaya yang sah dan wajar dalam praktik bisnis sepanjang memenuhi prinsip 3M (mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan). Namun demikian, pembebanannya harus mematuhi prinsip matching cost against revenue. Berdasarkan bukti yang diajukan, Majelis berkesimpulan bahwa pembebanan biaya rabat untuk periode 2018–2019 dan 2019–2020 tidak dapat diakui pada Tahun Pajak 2020 karena tidak sejalan dengan prinsip matching. Dengan demikian, koreksi DJP atas aspek waktu pembebanan dipertahankan, sementara sebagian koreksi lain yang tidak memiliki bukti kuat dibatalkan.
Putusan ini menegaskan dua hal penting: pertama, bahwa rabat merupakan biaya yang dapat dikurangkan secara fiskal sepanjang diakui dengan benar dan didukung bukti formal, dan kedua, bahwa ketepatan periode pembebanan biaya menjadi unsur krusial dalam sistem akrual. Meskipun substansi rabat diakui sebagai insentif bisnis yang sah, kesalahan dalam menentukan periode pembebanan tetap dapat menimbulkan koreksi fiskal. Putusan ini menjadi pengingat bagi Wajib Pajak agar menjaga konsistensi antara pembukuan komersial dan fiskal, serta menyiapkan dokumentasi rabat dan perjanjian insentif secara rinci dan sesuai tahun pajaknya.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini