Biaya jasa manajemen (management service fee) secara konsisten menjadi salah satu area paling rawan sengketa dalam pemeriksaan harga transfer.
Sifatnya yang sering kali umum dan sulit dikuantifikasi membuat Wajib Pajak berada dalam posisi yang sulit untuk membuktikan manfaat ekonominya. Kasus yang dialami oleh PT. JHHP menjadi preseden penting yang menegaskan kembali tingginya standar pembuktian yang diterapkan oleh otoritas pajak dan pengadilan di Indonesia terhadap transaksi jenis ini.
Dalam sengketa PPh Badan Tahun Pajak 2019, DJP melakukan koreksi signifikan terhadap biaya jasa manajemen yang dibayarkan oleh PT. JHHP kepada afiliasinya. Argumen utama DJP adalah kegagalan PT. JHHP dalam membuktikan manfaat ekonomi yang nyata dari jasa yang diterima; deskripsi jasa dianggap terlalu umum. Selain itu, DJP meragukan metode alokasi biaya yang digunakan, menganggapnya tidak transparan, dan mengindikasikan adanya potensi bahwa sebagian biaya merupakan shareholder activities yang tidak seharusnya dibebankan kepada anak perusahaan.
PT. JHHP membantah dengan menyatakan bahwa mereka menerima dukungan manajerial dan strategis yang vital dari afiliasi, yang berkontribusi pada efisiensi operasional. Mereka berpendapat bahwa metode alokasi yang digunakan adalah praktik yang lazim dalam bisnis multinasional dan analisisnya telah dituangkan dalam Dokumentasi Harga Transfer (TP Doc).
Namun, dalam pertimbangannya, Majelis Hakim sependapat dengan argumen DJP. Majelis menilai bahwa PT. JHHP tidak berhasil menyajikan bukti yang meyakinkan untuk mendukung dalilnya.
Dokumentasi yang ada dinilai gagal menunjukkan aktivitas jasa secara spesifik dan tidak dapat mengkuantifikasi nilai tambah yang diterima oleh PT. JHHP. Atas dasar tersebut, Majelis Hakim memutuskan bahwa koreksi DJP atas biaya jasa manajemen sudah tepat dan dapat dipertahankan.
Putusan ini mengirimkan pesan yang kuat kepada wajib pajak bahwa beban pembuktian atas kewajaran biaya jasa manajemen sepenuhnya berada di pundak Wajib Pajak. Keberadaan TP Doc, kontrak, dan faktur tidaklah cukup. Wajib Pajak harus mampu "membuka kotak hitam" dari jasa manajemen, merinci setiap aktivitas yang dilakukan, dan sebisa mungkin mengkuantifikasi dampaknya terhadap bisnis. Kasus ini mengilustrasikan dengan jelas bahwa tanpa bukti yang spesifik dan terukur, biaya jasa manajemen akan terus menjadi objek koreksi yang sulit untuk dimentahkan.