Sengketa pajak seringkali menjadi cerminan dari kompleksitas regulasi dan adu interpretasi antara Wajib Pajak dengan otoritas pajak. Sebuah studi kasus yang sangat relevan muncul dari sengketa yang melibatkan MM, di mana Pengadilan Pajak diuji untuk menafsirkan batasan fasilitas non-pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyetoran modal dalam bentuk natura atau inbreng. Kasus ini menjadi penting karena secara fundamental mempertentangkan penafsiran literal (tekstual) melawan penafsiran substansial (tujuan) dari sebuah norma hukum. Wajib Pajak MM melakukan restrukturisasi usahanya dengan mengalihkan aset berupa tanah dan bangunan senilai Rp2.950.000.000,00 sebagai setoran modal ke dalam PT MBM, sebuah perseroan terbatas yang baru didirikannya. Atas transaksi ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan surat ketetapan pajak, dengan keyakinan bahwa tindakan tersebut merupakan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang terutang PPN. Merasa tidak sependapat, Wajib Pajak membawa sengketa ini ke tingkat banding di Pengadilan Pajak.
Inti konflik dalam sengketa ini terletak pada perbedaan cara membaca Pasal 1A ayat (2) huruf d Undang-Undang PPN. DJP membangun argumentasinya di atas penafsiran substansial, menyatakan bahwa fasilitas non-pengenaan PPN hanya berlaku jika yang dialihkan adalah sebuah "usaha" atau "bagian dari usaha" yang dapat beroperasi secara mandiri. Menurut DJP, pengalihan aset individual seperti tanah dan bangunan tidak memenuhi kriteria ini dan harus dianggap sebagai pengalihan aktiva biasa yang terutang PPN. Sebaliknya, Wajib Pajak mendasarkan pembelaannya pada interpretasi literal. Ia berargumen bahwa undang-undang secara jelas menyatakan "pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan setoran modal sebagai pengganti saham" tidak termasuk penyerahan terutang PPN, dengan dua syarat eksplisit: tujuan pengalihan adalah setoran modal dan kedua belah pihak adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP). Wajib Pajak menegaskan telah memenuhi kedua syarat tersebut, yang dibuktikan melalui akta notaris dan status PKP para pihak, serta menuduh DJP telah menambahkan syarat baru yang tidak pernah ada dalam teks undang-undang.
Menghadapi benturan interpretasi ini, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memberikan resolusi yang tegas dengan mendukung penuh argumen Wajib Pajak. Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis menegaskan prinsip supremasi hukum bahwa penafsiran harus berpegang pada apa yang tertulis dalam undang-undang (lex scripta). Majelis menyatakan bahwa Pasal 1A ayat (2) huruf d UU PPN tidak mengandung satu frasa pun yang mensyaratkan BKP yang di-inbreng-kan harus berupa satu kesatuan usaha. Karena Wajib Pajak telah berhasil membuktikan pemenuhan atas dua syarat yang secara eksplisit tertulis, maka transaksi tersebut sah sebagai inbreng yang tidak terutang PPN. Tindakan DJP yang menambahkan syarat baru dianggap sebagai tindakan melampaui kewenangan hukum. Atas dasar itu, Majelis Hakim mengabulkan seluruh permohonan banding dan secara hukum membatalkan surat ketetapan PPN yang diterbitkan DJP.
Putusan ini merupakan kemenangan penting bagi prinsip kepastian hukum dalam perpajakan, sekaligus memberikan batasan yang jelas terhadap kewenangan fiskus dalam menafsirkan undang-undang. Implikasinya bagi dunia usaha sangat signifikan, karena memberikan kepastian bahwa selama syarat literal dalam UU PPN terpenuhi, pengalihan aset individual dalam skema inbreng tidak akan terutang PPN. Putusan ini juga menjadi yurisprudensi berharga yang dapat digunakan Wajib Pajak lain untuk menghadapi sengketa serupa dan menjadi pengingat bagi otoritas pajak untuk tidak menerapkan interpretasi yang melampaui teks peraturan.
Sebagai kesimpulan, kasus MM menegaskan bahwa dalam fasilitas inbreng, kepatuhan terhadap syarat-syarat yang tertulis secara eksplisit dalam Pasal 1A ayat (2) huruf d UU PPN adalah kunci. Pelajaran berharga dari kasus ini bagi Wajib Pajak adalah pentingnya mempersiapkan dokumentasi legal yang kuat untuk membuktikan tujuan transaksi sebagai setoran modal dan memastikan pemenuhan syarat administratif seperti status PKP. Putusan ini diharapkan dapat mengurangi potensi sengketa di masa depan dan memberikan iklim kepastian hukum yang lebih baik bagi Wajib Pajak yang hendak melakukan restrukturisasi usaha.