Sengketa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pemungutan Pajak oleh Pemungut Pajak sering kali menjadi kompleks, terutama ketika data yang terekam di sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berbenturan dengan realitas administrasi bagi Wajib Pajak di lapangan. Kasus Banding yang diajukan oleh suatu Wajib Pajak Badan, yakni PB, terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPN Pemungutan Masa Juni 2018 merupakan studi kasus penting yang menggarisbawahi pentingnya bagi setiap Wajib Pajak untuk memiliki bukti administrasi yang kuat untuk menegakkan prinsip kebenaran materiil. Isu kunci dalam sengketa ini adalah validitas PPN yang dikoreksi yang timbul dari Faktur Pajak Keluaran berkode ‘03’, di mana DJP mendasarkan koreksi pada hasil penyandingan data digital.
Konflik bermula dari penetapan koreksi DJP yang didasarkan pada data faktur pajak dari lawan transaksi di Portal DJP, serta adanya selisih setoran PPN Pemungutan. DJP berkeyakinan bahwa seluruh PPN yang terekam di sistem wajib dipungut dan disetor oleh BUMN tersebut sesuai kewajibannya. Namun, PB mengajukan bantahan komprehensif. Argumen PB berfokus pada fakta bahwa sebagian dari Faktur Pajak yang dikoreksi telah dibatalkan secara sah oleh PKP Penjual dan bukti pembatalannya telah diterima. Lebih lanjut, terdapat faktur yang sama sekali tidak pernah diterima, sehingga tidak ada dasar bagi PB untuk memungut PPN.
Menghadapi konflik antara data sistematis DJP dan bukti administrasi PB, Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpegangan teguh pada Pasal 76 Undang-Undang Pengadilan Pajak, yaitu upaya untuk menemukan kebenaran materiil. Setelah melalui proses uji bukti, Majelis menilai bahwa PB berhasil membuktikan dalilnya. Bukti otentik berupa Bukti Penerimaan Negara (BPN) atau Persetujuan Pemindahbukuan (PBK) yang sah membuktikan adanya penyetoran PPN, sedangkan bukti pembatalan Faktur Pajak yang sesuai prosedur dianggap meniadakan PPN yang terutang atas transaksi yang dibatalkan. Oleh karena itu, Majelis memutuskan untuk Mengabulkan Sebagian Banding PB, membatalkan koreksi sebesar Rp. 82.665.527,00.
Putusan ini menegaskan bahwa validitas data sistemis DJP dapat dibantahkan di pengadilan apabila Wajib Pajak mampu menyajikan bukti administrasi yang lebih kuat, sah, dan mutakhir, seperti dokumen pembatalan Faktur Pajak. Implikasi putusan ini sangat penting bagi seluruh Wajib Pajak, terutama BUMN dan Pemungut PPN lainnya. Pelajaran utamanya adalah perlunya memperkuat protokol internal untuk memastikan setiap pembatalan Faktur Pajak ditindaklanjuti secara administratif, baik di internal Wajib Pajak maupun dengan lawan transaksi, termasuk pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN. Putusan ini menjadi preseden bahwa kepatuhan administrasi pasca-transaksi yang didukung bukti otentik merupakan kunci utama keberhasilan litigasi.
Kasus ini menjadi pengingat bagi perusahaan untuk senantiasa memastikan kepatuhan administrasi Faktur Pajak secara proaktif, termasuk mengamankan bukti pembatalan yang telah divalidasi. Dalam sengketa PPN Pemungutan, peran Wajib Pajak untuk membuktikan penyetoran yang sah dan status akhir dokumen (pembatalan) sangat krusial untuk meminimalkan risiko koreksi yang didasarkan pada data sistematis yang belum tervalidasi oleh fakta yang mutakhir.
Analisa komprehensif dan putusan lengkap atas sengketa ini tersedia di sini