Proses likuidasi perseroan seringkali menimbulkan implikasi perpajakan yang kompleks, terutama terkait perlakuan atas sisa utang kepada pemegang saham. Hal ini terefleksi dalam sengketa antara PT SG melawan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terkait Tahun Pajak 2021. Sengketa ini berawal dari koreksi PPh Badan senilai Rp10,05 miliar yang ditetapkan DJP sebagai keuntungan karena pembebasan utang, sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf k UU PPh.
Inti konflik bermula ketika PT SG, yang telah berhenti beroperasi sejak 1998, melaksanakan RUPS pembubaran pada April 2021. Pada saat itu, perusahaan mencatat saldo utang usaha (kepada pemegang saham) sebesar Rp. 11,21 miliar. DJP berpendapat bahwa karena pemegang saham (kreditur) tidak mengajukan tagihan dalam jangka waktu yang ditetapkan UU Perseroan Terbatas, utang tersebut secara otomatis dianggap telah dibebaskan. DJP menghitung keuntungan pembebasan utang dengan mengurangkan total utang tersebut dengan sisa aset yang didistribusikan (Rp. 1,16 miliar), sehingga menghasilkan koreksi Rp. 10,05 miliar.
PT SG menolak koreksi tersebut dengan argumentasi berlapis. Secara perdata, pembebasan utang tidak dapat diasumsikan (Pasal 1438 KUH Perdata). Secara akuntansi (PSAK 23), pembebasan utang dari pemegang saham adalah transaksi modal, bukan penghasilan. Secara fiskal (Pasal 4 ayat (1) UU PPh), PT SG menegaskan tidak adanya "tambahan kemampuan ekonomis" yang diterima oleh perusahaan yang sedang dalam proses pembubaran.
Majelis Hakim Pengadilan Pajak mengambil pertimbangan hukum yang komprehensif. Majelis membenarkan sikap DJP bahwa PT dan pemegang saham adalah subjek hukum terpisah, dan fakta pembebasan utang (secara fiskal) telah terjadi serta merupakan objek PPh. Namun, Majelis Hakim menemukan kelemahan analisis DJP yang tidak menerapkan prinsip comprehensive income sebagaimana diamanatkan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU PPh. Prinsip ini mengharuskan seluruh penghasilan (termasuk keuntungan pembebasan utang) dikompensasikan secara horizontal dengan seluruh kerugian dalam tahun pajak yang sama.
Majelis Hakim menemukan fakta bahwa pada saat likuidasi, PT SG memiliki ekuitas negatif (kerugian) sebesar Rp. 17,21 miliar. Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa keuntungan pembebasan utang (Rp10,05 miliar) harus digabungkan dengan kerugian likuidasi (Rp. 17,21 miliar). Karena nilai kerugian lebih besar daripada keuntungan, Majelis menyimpulkan tidak terdapat "tambahan kemampuan ekonomis" netto yang dapat menjadi Penghasilan Kena Pajak. Putusan ini menegaskan bahwa meskipun pembebasan utang saat likuidasi adalah objek PPh, pengenaan pajaknya mutlak bergantung pada perhitungan netto (komprehensif) dengan kerugian yang ada.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini