Sengketa yang diajukan oleh WPH terhadap Surat DJP Nomor S-453/WPJ.26/2021 mencerminkan ketegangan antara hak substantif Wajib Pajak dan prosedur administratif dalam sistem perpajakan Indonesia. Inti dari perkara ini adalah bukan pada nilai pajak yang terutang, melainkan pada keabsahan surat pengembalian permohonan pembatalan Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang dianggap merugikan hak hukum Penggugat. WPH mengajukan permohonan pembatalan SKP PPN atas dasar Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), namun DJP menolak permohonan tersebut melalui pengembalian administratif.
Di sisi Penggugat, klaim utama didasarkan pada dua hal. Pertama, bahwa surat pengembalian S-453 tersebut tidak sah karena diterbitkan oleh pejabat yang dianggap tidak berwenang dan bertentangan dengan kewenangan fungsional (seperti PER-146/PJ/2018). Penggugat menilai bahwa kewenangan seharusnya melekat pada Dirjen Pajak. Kedua, Penggugat juga menyoroti SKP dasar sebagai cacat hukum karena diterbitkan tidak sesuai mandat, sehingga berhak dibatalkan melalui mekanisme Pasal 36 UU KUP. Penggugat memandang tindakan DJP mengembalikan permohonan telah menutup haknya untuk menguji keabsahan SKP.
Di sisi Tergugat, yaitu DJP, mereka berpendapat bahwa pengembalian permohonan tersebut dilakukan dengan dasar hukum yang sah, sesuai dengan Pasal 14 ayat (2) huruf c PMK 8/PMK.03/2013. Menurut DJP, surat pengembalian ini bukanlah keputusan yang dapat digugat, melainkan hanya langkah administratif yang memberitahukan bahwa permohonan tidak dapat diproses lebih lanjut, karena telah diajukan sebelumnya dan telah diproses. DJP juga menegaskan bahwa kewenangan yang digunakan untuk mengeluarkan surat pengembalian adalah sah, karena Kepala Kanwil DJP bertindak atas nama Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan mandat yang diberikan.
Majelis Hakim Pengadilan Pajak akhirnya memutuskan untuk menolak gugatan Penggugat. Majelis menegaskan bahwa surat pengembalian permohonan yang diterbitkan DJP sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, khususnya karena permohonan tersebut diajukan secara berulang. Lebih lanjut, Majelis mengambil posisi formalistik bahwa Surat Pengembalian Permohonan (S-453) bukan merupakan Keputusan yang dapat digugat berdasarkan yurisdiksi Pengadilan Pajak (Pasal 23 ayat (2) UU KUP). Putusan ini mempertegas pentingnya pemahaman atas prosedur administratif, di mana kesalahan formal, seperti pengajuan permohonan yang berulang, dapat berakibat pada hilangnya kesempatan Wajib Pajak untuk menguji substansi dari ketetapan pajak tersebut.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini