Sengketa PPN atas penyerahan unit properti kembali mengemuka dalam putusan PT PPP. Majelis Hakim Pengadilan Pajak mengabulkan seluruh banding, membatalkan koreksi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN senilai Rp74,56 miliar. Putusan ini menegaskan bahwa pengakuan pendapatan (revenue recognition) berdasarkan PSAK 72 saat Berita Acara Serah Terima (BAST) tidak serta merta menjadi dasar terutangnya PPN penuh , terutama ketika Akta Jual Beli (AJB) secara hukum belum terbit.
Pokok sengketa dalam pitusan ini adalah perbedaan interpretasi mengenai "saat penyerahan" BKP tidak bergerak. Direktorat Jenderal Pajak berargumen bahwa PPN terutang penuh pada saat BAST dan Perjanjian Pinjam Pakai (PPP) ditandatangani. Dasarnya adalah Pasal 17 ayat (3) huruf b PP 9/2021, yang menyatakan penyerahan terjadi saat hak menguasai secara nyata (in substance) beralih. DJP menyoroti inkonsistensi PT PPP. yang telah mengakui pendapatan (revenue) penuh di General Ledger sesuai PSAK 72 saat BAST, namun memungut PPN secara dicicil (berdasarkan termin). Bagi DJP, pengakuan pendapatan PSAK 72 (pengalihan pengendalian) adalah bukti penyerahan "secara nyata".
PT PPP Tidak setuju dengan koreksi DJP dengan Argumentasi bahwa BAST/PPP diterbitkan hanya untuk memenuhi PSAK 72, dan bukan merupakan penyerahan hak kepemilikan. Bukti yuridis utamanya adalah AJB belum terbit dan sertifikat belum balik nama. Bukti faktualnya, pembeli (customer) belum memiliki pengendalian penuh, yang dibuktikan dengan adanya larangan melakukan renovasi atas unit yang dipinjam pakai. Oleh karena itu, PT PPP berpendapat PPN seharusnya terutang berdasarkan pembayaran termin yang diterima, sesuai PER-03/PJ/2022 dan Penjelasan Pasal 12(3) UU KUP.
Majelis Hakim dalam pertimbangannya sepakat dengan argumentasi PT PPP. Majelis menemukan fakta bahwa AJB belum diterbitkan sehingga secara hukum kepemilikan masih di tangan PT PPP. Majelis juga menyoroti fakta ketiadaan pengendalian penuh (larangan renovasi) dalam argumentasinya. Secara kritis, Majelis bahkan berpendapat bahwa jika pengendalian penuh belum beralih, seharusnya pengakuan pendapatan penuh (PSAK 72) juga belum dapat diakui. Majelis menyimpulkan bahwa dasar PPN yang benar adalah berdasarkan uang muka atau cicilan yang diterima.
Putusan ini menggarisbawahi grey area krusial antara tax timing (berbasis penyerahan nyata/hukum) dan accounting timing (berbasis pengalihan pengendalian PSAK 72). Kemenangan PT PPP menunjukkan bahwa BAST tidak otomatis disamakan dengan penyerahan BKP terutang PPN penuh, selama Wajib Pajak dapat membuktikan bahwa hak hukum (AJB) dan pengendalian penuh secara faktual belum beralih ke pembeli.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini