Litigasi perpajakan yang dihadapi oleh PT STG menyajikan studi kasus krusial mengenai implementasi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm's Length Principle) terhadap pembayaran jasa intra-grup. Inti sengketa adalah koreksi Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh Pasal 26) oleh Direktur Jenderal Pajak (DJP) yang secara substansial merekarakterisasi pembayaran Agency Cost dan Offshore Technical Assistance Fee kepada pemegang saham/afiliasi luar negeri menjadi dividen terselubung. Koreksi tersebut dijustifikasi berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf f Undang-Undang PPh yang menegaskan bahwa jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau pihak afiliasi tidak dapat dibebankan sebagai biaya, dan karenanya harus diperlakukan sebagai distribusi laba. Kasus ini menyoroti batas kewenangan DJP dalam merekarakterisasi transaksi dan standar pembuktian yang wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak Korporasi Multinasional (MNC) untuk mempertahankan biaya jasa afiliasinya.
Sengketa bermula ketika DJP menemukan adanya pembayaran jasa pemasaran (Agency Cost) dan jasa teknis (Technical Assistance) kepada pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa (pemegang saham). DJP berargumen bahwa nilai pembayaran jasa tersebut melebihi batas kewajaran Arm's Length, yang mengindikasikan adanya skema pengalihan laba (profit shifting) dari entitas Indonesia ke luar negeri. Berdasarkan interpretasi ini, DJP secara total merekarakterisasi pembayaran tersebut sebagai dividen terselubung, yang konsekuensinya adalah tidak dapat dibiayakan di Indonesia dan dikenakan PPh Pasal 26 atas dividen sesuai tarif yang berlaku dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia-Jepang. PT STG dengan tegas membantah rekarakterisasi tersebut. Mereka berdalil bahwa jasa yang diterima adalah riil, sangat diperlukan untuk kegiatan operasional peleburan tembaga dan pemasaran produk di pasar global, serta telah didukung dengan analisis Transfer Pricing yang menunjukkan willingness to pay yang wajar dan manfaat ekonomi yang jelas. Menurut PT STG, rekarakterisasi penuh oleh DJP mengabaikan substansi bisnis yang sesungguhnya.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Pengadilan Pajak mengambil pendekatan yuridis yang tegas berdasarkan status hubungan istimewa para pihak. Majelis Mengabulkan Sebagian banding PT STG karena berpendapat koreksi DPP PPh Pasal 26 atas pembayaran jasa kepada pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa (MC RTM dan JX NMM) tidak dapat dipertahankan. Pembatalan koreksi terhadap pihak-pihak independen tersebut dilakukan Majelis karena DJP dianggap tidak berwenang mereklasifikasi jasa menjadi dividen terselubung (sebuah secondary adjustment) apabila koreksi primernya tidak menggunakan dasar hukum Pasal 18 ayat (3) UU PPh. Namun, Majelis mempertahankan koreksi penuh atas pembayaran Agency Cost dan Offshore Technical Assistance Fee kepada MMC, yang merupakan pemegang saham dengan hubungan istimewa. Majelis menguatkan dalil DJP bahwa atas transaksi afiliasi, koreksi primer berupa penolakan biaya Agency Cost dan Technical Assistance Fee adalah sah karena tidak terbukti adanya eksistensi dan manfaat ekonomis yang memadai atas jasa tersebut. Dengan demikian, Majelis mempertahankan reklasifikasi pembayaran MMC tersebut sebagai dividen terselubung (constructive dividend) berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf g UU PPh jo. Pasal 10 ayat (3) P3B Indonesia-Jepang, karena pembayaran tersebut dianggap melebihi kewajaran kepada pemegang saham (afiliasi). Alhasil, DPP PPh Pasal 26 dikoreksi menjadi Rp. 11.155.411.540,00 dan PPh Terutang menjadi Rp. 902.292.709,00, yang berujung pada PPh yang masih harus dibayar sebesar Rp. 1.017.143.779,00.
Implikasi dari Putusan Pengadilan Pajak yang beramar Kabul Sebagian ini sangat signifikan bagi praktik perpajakan MNC di Indonesia. Bagi PT STG, putusan ini meringankan beban pajak dibandingkan koreksi awal DJP, namun tetap menggarisbawahi kegagalan mereka dalam membuktikan kewajaran harga secara sempurna. Secara umum, putusan ini menjadi preseden kuat bahwa Wajib Pajak harus memiliki dokumentasi Transfer Pricing yang tidak hanya membuktikan adanya substansi jasa (benefit test) tetapi juga secara ketat memverifikasi kewajaran harga (pricing) berdasarkan data pembanding yang valid dan metode yang konservatif. Kasus ini memperkuat posisi otoritas pajak bahwa transaksi jasa afiliasi, terutama dengan pemegang saham, akan selalu menjadi fokus utama pemeriksaan, dan kelebihan pembayaran akan berpotensi besar untuk direkarakterisasi sebagai dividen terselubung yang dikenakan PPh Pasal 26.
Kasus ini menyimpulkan bahwa kunci keberhasilan dalam sengketa Transfer Pricing jasa afiliasi adalah keseimbangan antara pembuktian substansi bisnis yang kuat dan analisis kewajaran harga yang cermat. Keberadaan jasa memang diakui, tetapi harga yang overpriced akan menjadi celah bagi otoritas pajak untuk menerapkan Pasal 9 ayat (1) huruf f UU PPh, yang berujung pada konsekuensi pengenaan PPh Pasal 26 atas dividen terselubung.
Analisa Lengkap dan Komprehensif atas Sengketa Ini Tersedia di sini