Sengketa ini berawal dari koreksi fiskal yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terhadap PT MAI (dahulu PT HLI), untuk Masa Pajak Januari s.d. Desember 2020. Pokok sengketa utamanya adalah koreksi atas Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean (PPN JLN).
Koreksi PPN JLN ini sejatinya merupakan koreksi sekunder (secondary adjustment) yang timbul sebagai konsekuensi logis dari koreksi primer (primary adjustment) di Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) terkait dengan isu Transfer Pricing (TP).
DJP melakukan koreksi atas biaya Technical Assistance fee (TA) dan Technical Support (TS) yang dibayarkan PT MAI kepada pihak afiliasinya, HL Mfg., Co., Ltd., di Jepang. DJP berpandangan bahwa biaya-biaya jasa teknis tersebut merupakan duplikasi dari pembayaran royalti yang telah ada sebelumnya, sehingga dikategorikan sebagai upaya penggeseran laba (profit shifting) dan tidak dapat dibebankan sebagai biaya (dikoreksi eliminasi).
Sebagai konsekuensi dari eliminasi biaya di PPh Badan, DJP mereklasifikasi jumlah pembayaran jasa teknis tersebut menjadi dividen konstruktif (constructive dividend). DJP berargumen bahwa karena transaksi tersebut telah berubah status dari pembayaran jasa menjadi dividen—yang menurut ketentuan pajak bukan merupakan objek PPN—maka PPN JLN yang telah disetor oleh PT MAI seharusnya dieliminasi dari DPP PPN JLN. Inilah yang menjadi dasar DJP menetapkan Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) PPN JLN yang disengketakan.
PT MAI mengajukan banding dengan menolak baik koreksi primer PPh Badan maupun koreksi sekunder PPN JLN. Di mata Wajib Pajak, pembayaran jasa teknis (TA dan TS) adalah transaksi yang nyata (real), memberikan manfaat ekonomi yang jelas, serta berbeda substansinya dari pembayaran royalti. Selain itu, pembayaran tersebut telah teruji memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU).
Terkait dengan koreksi sekunder PPN JLN, Wajib Pajak berargumen bahwa re-klasifikasi sebagai dividen konstruktif tidak sah secara hukum karena tidak memenuhi syarat formal, seperti kondisi perusahaan yang masih mencatat saldo laba negatif (defisit) dan tidak adanya keputusan pembagian dividen melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyimpulkan bahwa penentuan sah atau tidaknya koreksi PPN JLN ini sangat bergantung pada hasil penyelesaian sengketa PPh Badan (koreksi primer). Setelah menelaah Putusan Pengadilan Pajak terkait PPh Badan untuk tahun pajak yang sama, Majelis berkesimpulan bahwa PT MAI berhasil membuktikan bahwa jasa teknis yang diterima merupakan transaksi riil, bukan shareholder activity, dan telah sesuai dengan PKKU.
Oleh karena koreksi primer PPh Badan dibatalkan, maka dasar hukum untuk menetapkan adanya dividen konstruktif pun gugur secara otomatis. Konsekuensinya, koreksi sekunder atas DPP PPN JLN juga menjadi tidak berdasar. Majelis Hakim akhirnya memutuskan untuk Mengabulkan Seluruhnya Banding yang diajukan oleh PT MAI, sehingga koreksi PPN JLN dibatalkan dan jumlah PPN yang Masih Harus Dibayar ditetapkan kembali menjadi Nihil.
Analisa komprehensif dan putusan lengkap atas sengketa ini tersedia di sini