Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21) Final wajib dikenakan atas uang manfaat pensiun yang dibayarkan secara sekaligus, sesuai regulasi perpajakan yang tertulis dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009. Implementasi ketentuan ini seringkali menjadi celah sengketa, seperti yang terjadi pada kasus banding yang melibatkan PT HIJ terkait Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPh Pasal 21 Masa Pajak September 2016. Inti konflik fiskal ini berpusat pada koreksi yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak (DJP) karena PT HIJ, yang merupakan pihak pemberi kerja, tidak menerapkan tarif PPh Pasal 21 Final yang benar atas pembayaran manfaat pensiun dini kepada karyawannya.
Inti konflik dalam sengketa ini berakar pada perbedaan fundamental dalam penentuan sifat PPh yang terutang. DJP berpegangan pada ketentuan PP 68/2009 dan PMK 16/PMK.03/2010, yang secara eksplisit menyatakan bahwa Uang Manfaat Pensiun yang dibayarkan secara sekaligus dikenai PPh Pasal 21 yang bersifat final dengan lapisan tarif progresif (0% sampai dengan Rp 50 juta dan 5% di atas Rp 50 juta). Argumen koreksi DJP berfokus pada kegagalan PT HIJ untuk mematuhi tarif final ini.
Di sisi lain, PT HIJ berargumen bahwa pembayaran manfaat pensiun kepada pegawai yang mengundurkan diri, di mana dana sudah dialihkan ke Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK), seharusnya dikenai PPh Pasal 21 non-final yang dihitung berdasarkan tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh. PT HIJ merasa kewajiban pemotongan telah dipenuhi oleh DPPK dengan skema non-final.
Pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 PMK No 16/PMK.03/2010 menyatakan pengalihan uang pesangon kepada pengelola dana pesangon tenaga kerja melalui pembayaran sekaligus terutang PPh pasal 21 bersifat final dan dipotong oleh pemberi kerja. Pada saat pengelola dana pesangon tenaga kerja membayar uang pesangon kepada pegawai, tidak dilakukan pemotongan pajak penghasilan pasal 21.
Pasal 7 PMK No 16/PMK.03/2010 menyatakan jika pengalihan uang pesangon tersebut melalui pembayaran secara bertahap atau berkala maka tidak terutang PPh 21 final. Pada saat pengelola dana pesangon tenaga kerja membayar uang pesangon kepada pegawai, maka akan dilakukan pemotongan PPh 21 yang bersifat final oleh pengelola dana pesangon tenaga kerja.
Hal ini disebabkan karena ketika pemberi kerja mengalihkan uang pesangon secara sekaligus kepada pengelola dana pesangon, pegawai dianggap telah menerima hak atas uang pesangon. Namun jika pengalihan uang pesangon tersebut dilakukan secara bertahap, pegawai dianggap belum menerima hak atas uang pesangon tersebut.
Dalam putusannya, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memberikan penegasan hukum yang jelas. Majelis memverifikasi fakta bahwa pembayaran yang dilakukan kepada pegawai yang pensiun dini tersebut memenuhi kriteria sebagai pembayaran manfaat pensiun yang dibayarkan sekaligus. Oleh karena itu, klaim PT HIJ mengenai penerapan PPh Pasal 21 non-final ditolak.
Majelis membenarkan substansi koreksi DJP bahwa PPh Pasal 21 yang terutang adalah bersifat Final. Namun, Majelis juga menunjukkan independensi dalam pengujian kuantitatif. Setelah melakukan perhitungan ulang atas penerapan tarif progresif 0% dan 5% terhadap Dasar Pengenaan Pajak (DPP) bruto yang terutang, Majelis menemukan adanya kesalahan hitung yang dilakukan oleh DJP, sehingga jumlah koreksi PPh Kurang Bayar dan sanksi bunga Pasal 13 ayat 2 UU KUP harus dikurangi secara signifikan.
Implikasi Putusan ini sangat penting bagi seluruh entitas yang melakukan pembayaran pesangon atau manfaat pensiun di Indonesia. Putusan Pengadilan Pajak ini secara definitif mengafirmasi kedudukan hukum PPh Pasal 21 Final atas Uang Manfaat Pensiun yang dibayarkan sekaligus sebagai ketentuan yang tidak dapat ditawar. Dampaknya, kepatuhan Wajib Pajak tidak hanya berhenti pada penentuan sifat pajak (Final), tetapi harus diperluas pada akurasi perhitungan teknis dalam menerapkan lapisan tarif progresifnya. Kesalahan teknis kecil dalam perhitungan persentase dapat memicu penerbitan SKPKB dan sanksi bunga yang harus dilunasi, meskipun basis hukumnya (PPh Final) telah diakui. Putusan yang menolak banding PT HIJ ini menjadi pelajaran berharga bahwa litigasi pajak seringkali bukan hanya pertarungan substansi, tetapi juga pertarungan akurasi perhitungan.
Analisa komprehensif dan putusan lengkap atas sengketa ini tersedia di sini