Sengketa atas koreksi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN kembali menyoroti kelemahan metodologi Ekualisasi dan Uji Arus Piutang, di mana PT CI berhasil membuktikan bahwa selisih akun piutang tidak seluruhnya mencerminkan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) terutang PPN. Penyesuaian akuntansi non-omzet, seperti Piutang yang Diragukan (Allowance for Doubtful Account), ternyata memiliki kekuatan pembuktian yang superior di hadapan Majelis Hakim.
Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-002817.16/2024/PP/M.VB menjadi preseden penting yang membahas kompleksitas atribusi PPN atas selisih data yang ditemukan melalui teknik pemeriksaan. Kasus ini melibatkan koreksi DPP PPN Masa Pajak Mei 2021 yang dilakukan oleh Direktori Jenderal Pajak (DJP) kepada PT CI, yang didasarkan pada temuan Ekualisasi antara DPP PPN dan Peredaran Usaha PPh serta hasil Uji Arus Piutang Dagang.
DJP secara tegas mempertahankan koreksinya, meyakini bahwa selisih positif yang timbul dari Uji Arus Piutang dan Ekualisasi Peredaran Usaha adalah indikasi kuat adanya omzet penyerahan BKP/JKP yang belum dilaporkan dan belum dipungut PPN-nya. DJP menggunakan pendekatan formalistis, menganggap setiap penambahan piutang dagang yang tidak dapat direkonsiliasi merupakan penyerahan yang terutang PPN. Bantahan dari PT CI berakar pada aspek substansi akuntansi. PT CI menyajikan bukti bahwa selisih akun piutang sebesar Rp. 3.974.480.856,00 tidak secara eksklusif terkait dengan transaksi penjualan terutang PPN. Mereka berargumen bahwa fluktuasi dalam akun Piutang Dagang dapat disebabkan oleh penyesuaian non-omzet, seperti pencadangan atau penghapusan Piutang yang Diragukan (Allowance for Doubtful Account), yang merupakan penyesuaian laba rugi namun bukan merupakan penyerahan BKP/JKP. Argumentasi ini berhasil menantang asumsi dasar yang digunakan DJP dalam Uji Arus Piutang.
Majelis Hakim dalam pertimbangannya menilai bahwa DJP gagal menyajikan bukti yang cukup dan meyakinkan untuk menepis bantahan PT CI. Majelis membebankan pembuktian kepada DJP untuk membuktikan bahwa selisih yang dikoreksi secara de facto adalah DPP PPN. Karena DJP tidak mampu membuktikan secara substansial bahwa selisih Piutang Dagang seluruhnya merupakan penyerahan terutang PPN, Majelis Hakim memutuskan untuk mengabulkan seluruhnya banding yang diajukan oleh PT CI dan membatalkan sebagian besar koreksi DPP PPN. Namun, koreksi ini tidak seluruhnya menjadi Nihil. Majelis menetapkan hasil akhir PPN Kurang Bayar (Pokok) menjadi sebesar Rp. 8.819.798,00. Dengan demikian, total Jumlah PPN yang Masih Harus Dibayar, setelah memperhitungkan sanksi kenaikan, ditetapkan sebesar Rp. 15.434.646,00.
Keputusan Majelis ini memberikan implikasi yang signifikan bagi praktik pemeriksaan. Putusan ini menegaskan bahwa teknik Ekualisasi dan Uji Arus Piutang tidak boleh menjadi bukti tunggal dan mutlak untuk koreksi PPN, dan memvalidasi pentingnya dokumentasi akuntansi yang kuat di sisi Wajib Pajak untuk menjelaskan setiap perbedaan data. Apabila WP dapat menunjukkan secara rinci bahwa selisih piutang dipengaruhi oleh pos non-PPN, koreksi DJP dapat dibatalkan. Konsekuensi logis dari pokok PPN yang menjadi Nihil adalah pembatalan sanksi kenaikan 75% berdasarkan prinsip accessoir, yang memberikan keringanan finansial signifikan bagi PT CI. Kasus ini menyimpulkan bahwa akurasi data dan rekonsiliasi akuntansi yang komprehensif adalah kunci pertahanan dalam sengketa PPN berbasis omzet. Wajib Pajak harus proaktif dalam menyusun defense file yang menjelaskan setiap pergerakan akun Piutang Dagang yang tidak terkait dengan penyerahan terutang PPN.
Analisa komprehensif dan putusan lengkap atas sengketa ini tersedia di sini