PTJPSI merupakan perusahaan yang bergerak di bidang industri baja dengan produk utama billet steel dan ingot. Sejak didirikan pada tahun 1981, perusahaan sempat menghentikan seluruh kegiatan produksinya di tahun 1994 akibat kerugian berturut-turut yang menimbulkan utang besar. Keputusan ini diambil oleh manajemen sebagai langkah mitigasi risiko untuk mencegah kerugian lebih lanjut.
Sengketa ini bermula dari koreksi yang dilakukan DJP terhadap beberapa transaksi PTJPSI selama tahun pajak 2018. Pertama, DJP melakukan Koreksi Positif atas Pendapatan Bunga Pinjaman kepada Pihak Afiliasi sebesar Rp1.325.283.358,-. Koreksi ini didasarkan pada prinsip bahwa Transaksi Pinjaman Antar Entitas Afiliasi seharusnya disertai bunga, sesuai praktik wajar dan lazim dalam hubungan usaha. Kedua, DJP menilai bahwa PTJPSI memperoleh pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham, LYS, sebesar Rp103.654.060.800,- per 31 Desember 2018, sementara PTJPSI tidak berada dalam kondisi rugi ataupun kesulitan likuiditas. Sehingga, DJP menetapkan Koreksi Negatif atas Biaya Bunga Pinjaman sebesar Rp8.646.476.238,- dengan menggunakan acuan suku bunga JIBOR + 2%. Selain itu, DJP juga melakukan Koreksi Penyesuaian Fiskal Positif sebesar Rp8.178.179.876,- terkait dengan penghasilan yang dikenai PPh Final dan non Final.
PTJPSI membantah seluruh koreksi yang diajukan DJP dengan tegas. PTJPSI menegaskan bahwa koreksi positif atas pendapatan bunga pinjaman sebesar Rp1.325.283.358,- tidak memiliki dasar yang kuat karena tidak disertai dengan bukti formal maupun material yang memadai. Pinjaman tanpa bunga yang diberikan oleh PTJPSI kepada pihak afiliasi bersumber dari dana yang juga diterima PTJPSI dalam bentuk pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham, dan bukan berasal dari kewajiban hutang yang dikenai bunga sebagaimana lembaga keuangan pada umumnya. PTJPSI menegaskan bahwa, pinjaman ini diberikan sebagai bagian dari mekanisme internal grup untuk mendukung operasional dan kebutuhan keuangan antar-entitas, bersifat sementara, dan telah mendapatkan persetujuan pemegang saham. Oleh karena sifat dan sumber dana ini, tidak ada kewajiban hukum atau praktik bisnis yang mengharuskan PTJPSI membebankan bunga kepada pihak afiliasi PTJPSI.
Terkait Koreksi Negatif atas Biaya dari Luar Usaha berupa bunga sebesar Rp8.646.476.238,-, PTJPSI berpendapat bahwa kegiatan operasional perusahaan telah berhenti sejak 1994 akibat kerugian berkelanjutan dan beban utang yang besar. Bahkan Pabrik PTJPSI kemudian disewakan kepada investor pada periode 2005–2018, dan perusahaan sempat berstatus Non-Efektif, sebagaimana tercatat dalam Surat Berita Acara dari KPP Jakarta Cakung Satu, sebelum akhirnya diaktifkan kembali pada tahun 2016 untuk mengikuti Program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) tahap 1. Pada periode tersebut, PTJPSI masih mencatat kerugian, dan utang kepada pemegang saham sebesar Rp103,65 miliar sudah tercatat dalam SPT Tahunan. Hal ini menunjukkan bahwa utang tersebut bukan baru muncul di tahun 2018, melainkan memang sudah ada sejak lama, ketika perusahaan berada dalam kondisi rugi.
Terakhir untuk koreksi Penyesuaian Fiskal Positif sebesar Rp8.178.179.876,- PTJPSI menyatakan tidak setuju karena koreksi tersebut didasarkan pada asumsi biaya bunga yang sebelumnya dikoreksi oleh DJP, yang kemudian dilakukan kembali koreksi fiskal positif oleh DJP. PTJPSI menegaskan bahwa utang kepada pemegang saham, LYS, dipergunakan secara khusus untuk menutupi kerugian perusahaan, sejalan dengan kondisi keuangan riil perusahaan, dan tidak terkait dengan investasi atau perolehan aktiva tetap yang daripadanya diperoleh penghasilan sewa yang terhutang PPh Final dan terhutang PPh non Final. Mengingat koreksi biaya bunga yang dilakukan terbanding tidak terkait dengan penghasilan yang terhutang PPh Final ataupun PPh non Final, maka Koreksi Fiskal Positif sama sekali tidak berdasar karena tidak ada hubungannya untuk memperoleh penghasilan terhutang PPh Final ataupun PPh non Final, maka koreksi sebesar Rp8.178.179.876,- seharusnya dibatalkan.
Setelah menilai seluruh bukti dan argumentasi dari kedua belah pihak, Majelis Hakim menilai bahwa Koreksi Positif atas Pendapatan Bunga Pinjaman yang dilakukan oleh DJP tidak memiliki dasar hukum karena pinjaman yang diberikan oleh PTJPSI kepada pihak afiliasi bersifat sementara dan untuk membantu operasional perusahaan, bukan untuk menghasilkan laba. Terkait Koreksi Negatif atas Biaya Bunga, Majelis menilai bahwa PTJPSI memang berada dalam kondisi rugi dan mengalami kesulitan likuiditas, yang diperkuat dengan fakta bahwa Pabrik PTJPSI disewakan kepada investor selama 2005–2018 dan perusahaan sempat berstatus Non-Efektif hingga mengikuti Program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) tahap 1 pada tahun 2016. Utang pemegang saham pun sebesar Rp103,65 miliar tercatat dalam SPT Tahunan, sehingga menunjukkan bahwa utang tersebut memang telah ada saat perusahaan dalam kondisi rugi.
Mengenai Koreksi Penyesuaian Fiskal Positif, Majelis menyimpulkan bahwa dasar perhitungannya tidak sah karena berasal dari Asumsi Biaya Bunga yang sebelumnya dikoreksi oleh DJP, yang kemudian dilakukan kembali Koreksi Fiskal Positif oleh DJP dan tidak terkait dengan penghasilan yang terutang PPh Final maupun non Final. Dengan demikian, Majelis membatalkan seluruh koreksi yang diajukan DJP, yaitu: Koreksi Positif atas Pendapatan Bunga Pinjaman sebesar Rp1.325.283.358,-, Koreksi Negatif atas Biaya Bunga Pinjaman sebesar Rp8.646.476.238,-, serta Koreksi Penyesuaian Fiskal Positif sebesar Rp8.178.179.876,-.
Putusan ini menjadi preseden penting bagi perusahaan yang memiliki struktur pendanaan melalui pemegang saham atau transaksi intra-group, menekankan bahwa pinjaman tanpa bunga tidak otomatis dianggap tidak wajar selama dapat dibuktikan bahwa perusahaan mengalami kerugian, berada dalam kesulitan likuiditas, dan pinjaman berasal dari pemegang saham yang telah memenuhi persyaratan hukum sesuai dengan PP 94/2010. Putusan ini juga menegaskan pentingnya memiliki dokumentasi Transfer Pricing yang berbasis analisis fungsional dan bukti kondisi finansial nyata, sehingga menjadi referensi strategis bagi praktik Transfer Pricing dan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha di Indonesia.
Analisa komprehensif dan putusan lengkap atas sengketa ini tersedia di sini