Permohonan banding yang diajukan oleh PT TMS berkaitan dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPh Pasal 21 Masa Pajak Januari s.d. Desember 2020, yang diterbitkan oleh KPP Madya Pekanbaru. Dalam pemeriksaan, DJP melakukan koreksi atas Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh Pasal 21 sebesar Rp968.899.020,00 yang berasal dari hasil ekualisasi antara beban gaji dalam pembukuan dengan DPP PPh Pasal 21. DJP menilai bahwa terdapat pembayaran berupa upah perbaikan dan pemeliharaan kendaraan serta jasa tenaga ahli yang belum dipotong PPh Pasal 21 sebagaimana mestinya, sehingga menetapkan tambahan pajak terutang sebesar Rp41.344.859,00 termasuk sanksi bunga administrasi.
Namun, PT TMS menolak koreksi tersebut dengan alasan bahwa perhitungan DJP tidak didasarkan pada bukti yang kuat dan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 12 ayat (3) UU KUP. Wajib Pajak menjelaskan bahwa seluruh pembayaran telah dicatat sesuai sistem akuntansi perusahaan, dan SPT Masa PPh Pasal 21 Tahun 2020 telah disusun berdasarkan penghasilan karyawan yang sebenarnya. Koreksi DJP dianggap tidak proporsional karena menggunakan tarif flat 3% (pukul rata) tanpa memperhitungkan lapisan tarif progresif sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh, serta tidak mempertimbangkan pembagian per masa pajak bulanan.
Selain itu, PT TMS menegaskan bahwa koreksi fiskal DJP tidak sesuai dengan asas self-assessment, karena DJP tidak memiliki bukti kuat untuk membuktikan bahwa pelaporan Wajib Pajak keliru. Penetapan tambahan DPP sebesar Rp968.899.020,00 juta dinilai sebagai hasil penafsiran sepihak yang tidak memperhatikan substansi transaksi dan sistem pencatatan internal. Perusahaan juga menilai bahwa penerapan koreksi tanpa memperhatikan karakteristik wilayah kerja dan pembagian fungsi pembayaran gaji di setiap unit operasional merupakan pelanggaran terhadap prinsip asas yurisdiksi kewilayahan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a UU PPh.
Dalam putusannya, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menilai bahwa DJP tidak memiliki dasar bukti yang cukup kuat untuk menyimpulkan adanya tambahan penghasilan yang belum dipotong PPh Pasal 21. Koreksi yang dilakukan DJP menggunakan pendekatan rata-rata tarif 3% tanpa memperhitungkan lapisan tarif progresif, serta tanpa dukungan bukti rinci yang membuktikan terjadinya kekeliruan dalam SPT Masa PPh Pasal 21 PT TMS. Menurut Majelis, metode tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh, dan bertentangan dengan prinsip proporsionalitas dalam penetapan pajak.
Majelis juga menegaskan bahwa DJP seharusnya memperhitungkan struktur penghasilan, masa pajak, serta bukti pengeluaran perusahaan yang telah dicatat secara akurat dalam pembukuan. Karena tidak ada bukti kuat bahwa SPT yang dilaporkan Wajib Pajak salah atau tidak benar, maka koreksi DJP dianggap tidak sah secara hukum. Dengan demikian, Majelis Hakim mengabulkan seluruh permohonan banding PT TMS dan membatalkan SKPKB PPh Pasal 21 Tahun Pajak 2020 sebesar Rp968.899.020,00 beserta sanksi administrasinya.
Putusan ini menegaskan pentingnya ketelitian dan dasar hukum yang kuat dalam melakukan koreksi fiskal, khususnya untuk pajak yang bersifat pemotongan seperti PPh Pasal 21. Majelis juga menyoroti bahwa koreksi harus didasarkan pada bukti substantif dan metode perhitungan yang sesuai ketentuan progresif, bukan pada pendekatan estimatif yang bersifat administratif. Kasus ini menjadi pengingat bahwa dalam sistem self-assessment, pembuktian atas kebenaran SPT berada pada otoritas Wajib Pajak selama DJP tidak dapat menunjukkan bukti korektif yang sah dan kompeten.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini